Sejarah Panjang Sawit di Asia Tenggara: Untung Mengalir, Hutan Menghilang
sejarah sawit di Asia Tenggara, asal-usul kelapa sawit, dampak sawit terhadap hutan, industri sawit modern, jejak kolonial industri sawit-Foto: Sawit Kita-
JAKARTA, PostingNews.id — Selama ratusan tahun, kelapa sawit menempuh perjalanan panjang yang penuh lika-liku. Dari hutan lebat Afrika Barat, pohon ini akhirnya mendarat di Asia Tenggara dan menjelma menjadi komoditas jutaan ton yang menggerakkan industri pangan, kosmetik, hingga biodiesel. Di balik kesuksesan itu, sejarah sawit juga menyimpan jejak kolonialisme, pembukaan hutan besar-besaran, dan krisis ekologis yang sampai sekarang masih membayang.
Minyak sawit hari ini menjadi raja di pasar dunia, dengan produksi global menembus lebih dari 76 juta ton per tahun. Namun dominasi itu bermula jauh sebelum era pabrik dan mesin uap berdentum di Eropa. Di Afrika Barat, pohon sawit sudah lama menjadi bagian hidup masyarakat. Mereka mengolah minyak merah untuk makanan, membuat sabun, hingga memakai nira dan pelepahnya untuk kebutuhan rumah tangga. sawit tumbuh liar, dipanen secara tradisional, dan ekonomi lokal berputar dari pohon ke pohon.
Situasinya berubah ketika Revolusi Industri di Eropa memicu demam baru. Minyak sawit dianggap pelumas andal untuk mesin, bahan bikin sabun, lilin, sampai pelat timah. Perusahaan-perusahaan besar seperti Lever Brothers ikut mengokohkan tren ini. Ketika perbudakan Atlantik dihentikan pada 1807, pedagang Inggris cepat mengalihkan jaringan perdagangannya ke minyak sawit. Pada 1870-an, sawit sudah masuk daftar komoditas ekspor andalan dari Afrika Barat.
Namun produksi tradisional punya keterbatasan, antara lain lambat, tak seragam, dan tidak stabil. Inilah celah yang dimanfaatkan kekuatan kolonial, yang ingin mendirikan perkebunan layaknya model tanaman komersial lainnya. Sayangnya, banyak percobaan perkebunan modern di Afrika Barat justru kandas karena lahan kurang cocok dan minim tenaga kerja.
Titik balik muncul ketika empat bibit sawit dibawa oleh ahli botani Belanda ke Kebun Raya Bogor tahun 1848. Dilansir dari National Geographic, awalnya pohon ini diperlakukan seperti tanaman hias; tampil cakep menghiasi taman di kota-kota kolonial di Jawa dan Malaya. Baru pada awal abad ke-20, sawit benar-benar masuk dunia bisnis.
Adrien Hallet, pengusaha Belgia yang malang-melintang di industri karet Afrika, melihat sawit yang tumbuh di Indonesia justru lebih produktif. Pada 1911, ia membuka perkebunan sawit komersial pertama di Sumatra, disusul Malaysia pada 1917. Kondisi iklim tropis, tanah yang cocok, dan mudahnya mengalihkan infrastruktur perkebunan karet membuat produksi melonjak cepat.
Hanya butuh beberapa dekade sebelum ekspor sawit Sumatra melampaui Nigeria yang sebelumnya menjadi pemimpin dunia. Perusahaan-perusahaan seperti Socfin, Guthrie, dan Barlow memperkuat sistem perkebunan intensif yang nantinya menjadi fondasi industri sawit modern.
Warisan Kolonial yang Turun ke Indonesia dan Malaysia
Perang Dunia II membuat industri sawit remuk redam. Jepang menduduki wilayah Asia Tenggara, jalur dagang putus, dan tenaga kerja hilang. Setelah perang, Indonesia dan Malaysia menempuh jalan berbeda.
Di Indonesia, revolusi kemerdekaan dan kebijakan ekonomi radikal era Sukarno membuat banyak perkebunan asing kehilangan kendali. Banyak kebun dinasionalisasi, sehingga pemulihan berjalan lambat. Barulah pada masa Orde Baru investasi dibuka lebar-lebar. Bank Dunia dan ADB ikut menopang perluasan kebun yang awalnya hanya 150 ribu hektare di tahun 1970-an hingga menjadi 600 ribu hektare pada pertengahan 1980-an.
BACA JUGA:Asal-Usul Sawit Bukan dari Indonesia, Begini Sejarahnya Hingga Jadi Komoditas Primadona
Malaysia mengambil rute berbeda. Inggris tetap membeli minyak sawit Malaysia pascaperang, membantu industri pulih. Setelah merdeka, pemerintah membentuk FELDA, lembaga reformasi agraria yang memberikan lahan sawit atau karet kepada keluarga-keluarga petani. Model ini bukan hanya mempercepat produksi, tetapi juga menjadi contoh dunia bahwa sawit bisa menjadi alat efektif untuk mengurangi kemiskinan.
Kesuksesan industri sawit Asia Tenggara membawa dampak dua sisi. Di satu sisi, sawit menjadi tulang punggung ekonomi nasional dan sumber penghidupan jutaan petani kecil. Di sisi lainnya, ekspansi besar-besaran memicu hilangnya hutan hujan tropis, konflik lahan, serta runtuhnya keanekaragaman hayati.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News