JAKARTA, PostingNews.id – Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian akhirnya buka suara soal tiga kepala daerah yang mengibarkan bendera putih setengah tiang di tengah bencana Sumatera. Kata mantan Kapolri itu, para bupati sebenarnya bukan berhenti bekerja. Mereka masih jungkir balik di lapangan, hanya saja ada titik di mana tenaga, alat, dan logistik tak bisa lagi diajak kompromi.
“Bukan menyerah total. Mereka tetap bekerja semampu mereka. Tapi ada yang mereka tidak mampu,” ujar Tito di Lanud Halim Perdanakusuma, Rabu 3 Desember 2025.
Menurut Tito, problemnya sederhana tapi fatal. Banyak akses bantuan putus karena longsor. Ia memberi contoh Aceh Tengah yang jalannya terkunci semua akibat material tanah. “Jalan semua terkunci karena longsor ada jembatan putus,” katanya. Aceh Utara sampai Aceh Selatan pun senasib, jalur terhambat, kendaraan logistik terpaksa berhenti di tengah jalan sambil menatap tebing.
Di kondisi seperti itu, bupati tetap bekerja seadanya. Namun ada hal yang mustahil mereka kerjakan tanpa bala bantuan, seperti kebutuhan makanan dan BBM. Untuk wilayah yang benar-benar terisolasi, bantuan harus dijatuhkan dari udara. Daerah juga butuh alat berat untuk membuka jalan yang terkubur longsor.
BACA JUGA:Dua Hari Tanpa Bantuan, Keluarga yang Terisolasi di Tapteng Bertahan di Hutan dengan Nangka dan Air Hujan
Pemerintah pusat, kata Tito, sudah turun tangan sejak hari pertama. Ia menegaskan bahwa keterbatasan daerah tidak otomatis berarti menyerah. “Mau nyerah, mau enggak, kami menilai sendiri. Kami akan dukung. Dari hari pertama, sepenuhnya,” ucapnya.
Bencana Besar Tiga Provinsi, Korban Tembus 753 Jiwa
Banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November tidak main-main. Per 3 Desember 2025, korban meninggal sudah mencapai 753 jiwa. Banyak wilayah masih lumpuh, sebagian akses hancur, dan gelombang pengungsian terus bertambah.
Dari kondisi itu, tiga kepala daerah mengaku tak sanggup menanganinya sepenuhnya. Mereka adalah Bupati Aceh Tengah Haili Yoga, Bupati Aceh Selatan Mirwan MS, dan Bupati Pidie Jaya Sibral Malasyi. Semuanya mengatakan kesulitan mengatasi dampak bencana di wilayah masing-masing, terutama karena keterisolasian dan minimnya alat.
Di Senayan, suara mendesak pemerintah pusat agar menaikkan status menjadi bencana nasional makin nyaring. Ketua DPD Sultan Baktiar Najamudin termasuk yang paling lantang. Ia mengatakan menerima aspirasi dari daerah sampai senator DPD yang meminta status bencana nasional diberlakukan untuk Aceh, Sumut, dan Sumbar.
BACA JUGA:Di Tengah Lumpur Banjir Sumatera, Prabowo ke Para Korban: Suka Enggak Kalau Maling Negara Saya Sikat?
Sultan menilai syaratnya sudah terpenuhi. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, ia menyebut variabel korban jiwa, kerugian material, kerusakan infrastruktur, luas wilayah terdampak, hingga dampak sosial ekonomi telah masuk kategori skala besar. “Baik dari variable jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana hingga cakupan luas wilayah yang terkena bencana dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan,” katanya dalam keterangan tertulis, Ahad 30 November 2025.
Di sisi pemerintah pusat, Presiden Prabowo Subianto punya pandangan berbeda. Saat meninjau Tapanuli Tengah pada 1 Desember, ia menegaskan status darurat daerah dianggap memadai untuk menggerakkan penanganan bencana.
“Kita monitor terus. Saya kira kondisi yang sekarang ini sudah cukup,” ujar Prabowo.
Presiden juga mengatakan tidak ada instruksi khusus untuk Basarnas dan BNPB. Menurutnya, dua lembaga itu sudah memiliki prosedur yang jelas dalam penanganan bencana. Pemerintah tinggal memastikan semua upaya dikerahkan agar respons di lapangan berlangsung cepat.