JAKARTA, PostingNews.id — Jauh sebelum kelapa sawit jadi rebutan konglomerat dan bahan baku industri raksasa, pohon ini sudah lebih dulu hidup bebas di hutan-hutan Afrika Barat. Di sana, sawit bukan sekadar tanaman. Buahnya dipetik, minyaknya diolah, nira dan pelepahnya dipakai dalam kehidup-an sehari-hari. Sawit adalah bagian dari tradisi, pangan, hingga perdagangan lokal.
Sejarah panjang sawit di Afrika Barat dimulai jauh sebelum dunia mengenal istilah “komoditas strategis.” Tanaman ini tumbuh liar ribuan tahun, lalu berkembang bersama pergerakan manusia yang berpindah mencari lahan baru. Sekitar 2.500 tahun lalu, musim kemarau panjang membuka ruang tumbuh bagi pohon-pohon sawit baru. Seiring manusia bermigrasi, benih sawit pun ikut tersebar. Praktik tebang-bakar dan pengelolaan lahan tradisional makin memperluas populasinya.
Bukti-bukti arkeologi menunjukkan minyak sawit sudah digunakan masyarakat sejak 5.000 tahun lalu. Sebagian besar sawit tumbuh secara liar, hanya beberapa kawasan yang dikelola intensif oleh kerajaan tertentu, seperti Kerajaan Dahomey pada abad ke-18.
Pekerjaan mengolah minyak sawit bukan perkara sepele. Di banyak daerah, perempuan menjadi tulang punggung prosesnya, mulai dari merebus buah sawit berulang kali, menyaringnya, sampai mengekstrak minyak merah dari daging buah. Biji-bijinya yang keras juga dibelah dan dikelola menjadi minyak biji sawit yang bening kecokelatan. Metode tradisional ini bertahan sampai sekarang di berbagai kampung di Afrika Barat.
BACA JUGA:Cak Imin Lempar Taubatan Nasuha untuk Bahlil, Golkar: Bukan Waktunya Guyon di Tengah Duka
Minyak sawit digunakan untuk segala hal yang bisa dibayangkan pada masa itu. Bukan hanya untuk memasak. Di sejumlah wilayah, minyak sawit jadi bahan sabun tradisional seperti sabun hitam Yoruba, jadi bahan bangunan, bahan bakar untuk lampu, hingga perlengkapan ritual dan pengobatan. Nira sawit diproses menjadi minuman, sementara pelepah dan batangnya dipakai sebagai atap dan peralatan rumah tangga.
Era Dagang Abad ke-19, Sawit Naik Panggung Dunia
Minyak sawit mulai dikenal bangsa Eropa sejak abad ke-15, namun permintaan besar baru muncul di awal abad ke-19. Saat perdagangan budak dilarang pada 1807, para pedagang dari Liverpool dan Bristol perlu komoditas baru untuk menggantikan bisnis lamanya. Mereka sudah tahu fungsi minyak sawit karena sebelumnya dipakai sebagai makanan bagi budak selama pelayaran. Peralihan pun berlangsung instan.
Di saat industri Eropa membutuhkan sumber minyak dan lemak murah yang lebih stabil, minyak sawit menjadi jawaban. Minyak ini dipakai sebagai pelumas mesin, bahan pelat timah, bahan bakar untuk jalanan, dan sebagai bahan utama sabun industri. Penemuan teknologi kimia pada 1820-an bahkan membuat produksi sabun massal kian menggila.
Volume impor minyak sawit melonjak drastis, dari hanya 157 ton pada 1790-an, melejit menjadi lebih dari 32.000 ton pada awal 1850-an.
BACA JUGA:KDM Mau Bikin Kereta Ngebut Padjajaran Saingan Whoosh, Warga Bandung Siap Nyampe Sebelum Kopi Habis
Para pedagang Eropa membeli minyak sawit melalui jaringan perantara lokal di Delta Niger, wilayah yang kemudian dikenal sebagai Oil Rivers karena ramainya perdagangan sawit. Para pedagang Eropa sendiri enggan turun ke darat karena risiko penyakit dan aturan lokal yang melarang pembangunan pos dagang. Alhasil, transaksi berlangsung dari kapal-kapal yang berbulan-bulan bersandar di laut.
Jaringan pedagang lokal, banyak di antaranya mantan pelaku perdagangan budak, memainkan peran penting. Bahkan sampai 1840-an, pola jaringan perdagangan budak masih menjadi jalur utama dalam perdagangan minyak sawit. Ini menunjukkan betapa eratnya hubungan dua sistem ekonomi yang tampaknya berbeda namun terhubung erat oleh sejarah.
Menjelang akhir abad ke-19, permintaan global melesat lagi setelah ilmuwan Eropa menemukan proses hidrogenasi yang melahirkan margarin, sumber lemak murah bagi kelas pekerja. Pada saat inilah kekuatan kolonial mengambil alih Afrika Barat. Inggris dan Prancis membangun koloni, menancapkan kendali atas perdagangan, dan melemahkan kekuasaan pedagang Afrika. Keuntungan sawit yang sebelumnya dinikmati masyarakat lokal beralih ke perusahaan-perusahaan asing.
Perubahan paling besar baru terjadi pada awal abad ke-20 ketika perkebunan sawit modern mulai dibangun di Asia Tenggara. Dalam waktu singkat, ribuan hektare hutan tropis di Malaysia dan Indonesia dibuka dan diganti dengan monokultur kelapa sawit.