Ramai-ramai Tuntut DPR Bisa Dipecat Rakyat, Golkar Tegaskan Aturannya Bukan di MK

Jumat 21-11-2025,12:03 WIB
Reporter : Andika Prasetya
Editor : Andika Prasetya

JAKARTA, PostingNews.id – Di Senayan, suasana politik kadang terasa seperti konser yang penontonnya ribut soal siapa boleh naik panggung. Kali ini panggung itu adalah kursi DPR, dan yang dipersoalkan publik adalah siapa sebenarnya berhak menurunkan seorang anggota dewan dari singgasananya. Namun Partai Golkar punya jawaban lugas lewat Soedeson Tandra, yang tampaknya ingin bilang bahwa penonton jangan ikut nimbrung ke belakang panggung.

Soedeson menegaskan bahwa mekanisme pemecatan anggota DPR yang tertulis di Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD adalah urusan pembuat undang-undang, bukan Mahkamah Konstitusi. Menurut dia, soal pecat-memecat adalah wilayah open legal policy yang tak bisa begitu saja disentuh hakim MK. 

“Kalau saya, berpendapat pribadi, ya, begitu,” ujar Soedeson di Kompleks MPR/DPR, Senayan, Kamis, 20 November 2025. Pernyataan itu ia lontarkan untuk menanggapi gugatan uji materi UU MD3 yang diajukan sejumlah mahasiswa, yang ingin agar rakyat bisa memberhentikan anggota DPR secara langsung.

Ia menilai gugatan semacam itu wajar saja dalam negara demokrasi. Tapi, ia kembali mengingatkan bahwa semua tetap harus mengikuti alur sistem. “Harus kembali ke sistem. Di dalam sistem itu, perekrutan itu mulai dari bawah ke atas. Keterpilihan itu. Dan itu kemudian diserahkan kepada partai politik dan DPR,” kata dia.

BACA JUGA:Becak Listrik Mulai Mengaspal, Pamerintah Targetkan 5.000 Unit Hingga Akhir Tahun

Soedeson menjelaskan bahwa pemilihan maupun pemberhentian anggota DPR sepenuhnya merupakan kewenangan partai politik sebagaimana pengaturan dalam UU MD3. Baginya, ini bukan ranah yang bisa diganggu-gugat MK. Ia juga menegaskan bahwa aturan yang berlaku saat ini tidak bertentangan dengan UUD 1945. “Kecuali saya melakukan pidana dan sebagainya. Masuk open legal policy, jadi enggak bisa dibatalin Mahkamah Konstitusi,” ujar dia.

Ia memberi contoh bahwa seorang anggota DPR dipilih oleh pemilih di daerahnya masing-masing. “Misalnya begini, ya, saya terpilih dari Papua Tengah. Yang minta pecat saya orang Sumatera Utara misalnya. Tidak pas, kan? Sehingga ini semua perlu diatur,” ucapnya lagi.

Gugatan yang ia komentari diajukan oleh lima mahasiswa—Ikhsan Fatkhul Azis, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, Muhammad Adnan, dan Tsalis Khoirul Fatna—yang mendaftarkan perkara nomor 199/PUU-XXIII/2025. “Permohonan yang dimohonkan para pemohon tidaklah berangkat dari kebencian terhadap DPR dan partai politik, melainkan sebagai bentuk kepedulian untuk berbenah,” kata Ikhsan dalam keterangan di laman MK, Rabu, 19 November 2025.

Mahasiswa menyoroti Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 yang menyebut seorang anggota DPR diberhentikan antarwaktu apabila “diusulkan oleh partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Menurut para pemohon, aturan ini membuat partai politik memiliki kekuasaan eksklusif yang terlalu besar. Mereka menilai praktik selama ini menunjukkan partai bisa memecat kader di DPR tanpa alasan jelas, sementara konstituen sama sekali tidak punya ruang untuk bersuara.

BACA JUGA:BGN Diserbu Isu Polisi Aktif, Nanik: Tenang Saja Semua Sudah Pensiun

Ketiadaan mekanisme pemberhentian oleh pemilih dinilai menempatkan rakyat hanya sebagai penjaga pintu di hari pemilu, bukan sebagai pemilik kedaulatan yang sesungguhnya. Suara terbanyak menentukan siapa duduk di DPR, tetapi suara rakyat tak lagi relevan ketika menyangkut pemberhentian.

Karena itu, mereka meminta MK menafsirkan ulang aturan tersebut agar pemberhentian bisa “diusulkan oleh partai politiknya dan/atau konstituen di daerah pemilihannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Dengan kata lain, mereka ingin kursi DPR tidak hanya bisa diberikan rakyat, tetapi juga—bila perlu—dicabut oleh rakyat.

Kategori :