POSTINGNEWS.ID – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh masih berjalan.
Fokus penyelidikan meliputi penjualan kembali tanah negara hingga dugaan pembengkakan anggaran dalam pengadaan lahan.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan bahwa pengusutan dilakukan di lingkungan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).
BACA JUGA:Pemerintah Berjibaku Lawan Baju Ilegal Asal China
KPK disebut terus memeriksa berbagai keterangan serta informasi yang diperoleh dari lapangan.
“Kami masih terus mendalami informasi-informasi yang kami peroleh baik di lapangan maupun dari permintaan keterangan kepada para pihak,” ujarnya saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa (18/11).
Selain isu tanah negara, KPK juga mengkaji dugaan mark up anggaran dalam tahapan akuisisi lahan proyek.
BACA JUGA:PPh Final 0,5 Persen Mau Dipatenkan, DPR Ingatkan Risiko UMKM ‘Jadi-jadian’
Budi menegaskan seluruh informasi akan diverifikasi secara menyeluruh untuk memastikan ada tidaknya unsur pidana.
“Ini masih terus didalami,” tambahnya.
Isu dugaan korupsi di proyek Whoosh kembali menguat setelah pernyataan mantan Menko Polhukam, Mahfud MD, yang menyoroti perbedaan signifikan biaya pembangunan antara Indonesia dan China. Mahfud menilai lonjakan biaya patut diselidiki.
Dalam video di kanal YouTube Mahfud MD Official tanggal 14 Oktober 2025, ia menyebut biaya pembangunan per kilometer Whoosh mencapai 52 juta dolar AS di Indonesia, sementara di China hanya sekitar 17–18 juta dolar AS.
BACA JUGA:Dedi Mulyadi Sindir Pejabat Hobi Rapat: Banjir Itu Diselesaikan Dengan Alat Berat, Bukan Meeting
“Menurut perhitungan pihak Indonesia, biaya per satu kilometer kereta Whoosh itu 52 juta dolar Amerika Serikat. Akan tetapi, di China sendiri, hitungannya 17–18 juta dolar AS. Naik tiga kali lipat,” ujarnya.
Mahfud juga mempertanyakan pihak yang diduga menaikkan biaya tersebut. “Ini siapa yang menaikkan? Uangnya ke mana? Naik tiga kali lipat. 17 juta dolar AS ya, dolar Amerika nih, bukan rupiah, per kilometernya menjadi 52 juta dolar AS di Indonesia. Nah itu mark up. Harus diteliti siapa yang dulu melakukan ini,” lanjutnya.