JAKARTA, PostingNews.id — Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia memilih mengambil posisi tenang di tengah riuh penolakan gelar pahlawan untuk Soeharto. Baginya, perbedaan pendapat adalah napas dari negara demokrasi. Orang boleh pro, boleh kontra, dan menurut Bahlil, semua itu wajar. Yang jelas, ia tetap memegang teguh penilaiannya bahwa Soeharto pantas menyandang predikat pahlawan.
Ia bahkan mengingatkan bahwa tidak ada manusia yang betul-betul sempurna di muka bumi ini. “Kesempurnaan itu hanya ilahi saja, ya, itu ilahi saja. Terkecuali, ada orang yang mengatakan bahwa dia sempurna seperti Yang Maha Kuasa,” ucap Bahlil saat ditemui di kantor DPP Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Jumat, 14 November 2025.
Di hadapan kader partainya, Bahlil menyebut seluruh keluarga besar Golkar dari Sabang sampai Merauke justru menyampaikan terima kasih kepada Presiden Prabowo Subianto yang telah memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto. Ia menilai jasa Soeharto terlalu panjang untuk dipungkiri. “Pak Harto adalah presiden 32 tahun, pernah menjadi Ketua Dewan Pembina DPP Partai Golkar, ikut melahirkan Partai Golkar,” tutur Bahlil.
Soeharto resmi dianugerahi gelar pahlawan nasional pada 10 November 2025, lewat Keputusan Presiden Nomor 116/TK/Tahun 2025. Ia menjadi satu dari sepuluh tokoh yang menerima gelar tahun ini, berdampingan dengan nama besar lain seperti Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Sarwo Edhie Wibowo, hingga Marsinah, aktivis buruh yang tewas pada masa Orde Baru.
BACA JUGA:ICW Tagih Nyali KPK Usut Bobby Nasution, Padahal Hakim Sudah Perintah Periksa
Namun di luar gedung pertemuan, badai kritik sudah datang sejak jauh hari. Aktivis, akademisi, hingga organisasi masyarakat sipil menolak ketika nama Soeharto masih berupa usulan di meja Kementerian Sosial dan Dewan Gelar. Setelah resmi ditetapkan, gelombang itu semakin mengencang.
Komnas HAM menjadi salah satu lembaga yang paling vokal. Ketua Komnas HAM Anis Hidayah menilai keputusan itu melukai rasa keadilan para korban pelanggaran HAM masa lalu. Selama 32 tahun Soeharto berkuasa, Komnas HAM mencatat sederet peristiwa pelanggaran berat, mulai dari tragedi 1965, penembakan misterius, Talangsari, Tanjung Priok, operasi militer di Aceh, hingga kerusuhan Mei 1998.
Semua peristiwa itu sudah diselidiki lembaga tersebut dan disimpulkan sebagai pelanggaran HAM berat. Anis secara khusus menyoroti kerusuhan Mei 1998 yang dipenuhi tindakan pembunuhan, penyiksaan, perkosaan, dan persekusi. “Jadi (penetapan Soeharto sebagai pahlawan) mengingkari fakta-fakta itu,” katanya di kantor Komnas HAM, 12 November 2025.
Ia juga mengingatkan bahwa hingga hari ini para korban belum benar-benar mendapatkan keadilan. Proses hukum atas beragam pelanggaran HAM itu belum berjalan sebagaimana mestinya, sementara negara kini justru memberikan gelar pahlawan kepada sosok yang dinilai banyak pihak memiliki catatan kelam.