Yulina juga menyoroti kualitas material bangunan rumah subsidi yang rendah, menjadikannya rentan rusak dan mahal dalam perawatan jangka panjang. Ironisnya, rumah yang seharusnya jadi solusi justru berpotensi menjadi beban ekonomi baru bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Permasalahan tidak berhenti di dalam rumah. Menurut Yulina, kawasan rumah subsidi juga sering kekurangan ruang publik yang layak, seperti taman atau area bermain.
Jalanan sempit, fasilitas terbatas, dan jarak jauh ke pusat aktivitas sosial memperparah rasa terasing dalam komunitas.
Anak-anak kesulitan membangun relasi sosial, sementara pasangan muda kehilangan dukungan lingkungan sekitar.
“Ini masalah serius yang tidak bisa hanya dilihat dari sisi efisiensi lahan,” tegasnya.
Rata-rata luas rumah subsidi saat ini hanya sekitar 36 meter persegi, namun mulai muncul tipe-tipe baru dengan luas hanya 14 meter persegi—sebuah ukuran yang dipertanyakan kelayakannya oleh para ahli.
Yulina menekankan bahwa kebijakan pembangunan perumahan masih minim mempertimbangkan kebutuhan keluarga multigenerasi, sebuah realitas umum di Indonesia.
“Alih-alih menjadi tempat tinggal yang aman dan nyaman, rumah subsidi berisiko berubah menjadi sumber tekanan baru bagi keluarga,” pungkasnya.