JAKARTA, POSTINGNEWS.ID - Sekretaris Jenderal (Sekejen) PDIP, Hasto Kristiyanto, mengkritik surat terbuka yang dilayangkan oleh aktivis sekaligus akademisi, Denny Indrayana, kepada DPR RI untuk segera memakzulkan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Menurut Hasto, bekas Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) ini sama sekali tidak menunjukkan sikap intelektual seperti gelarnya sebagai akademisi.
Hasto pun mengingatkan Denny untuk berbicara sesuai dengan pola pikir seorang intelektual. Sebab ia menilai, desakan pemakzulan terhadap Jokowi jelas hanya menonjolkan unsur perasaan satu pihak, bukan berdasarkan data.
"Beliau (Denny Indrayana) ini, kan, sosok akademisi, ya, harus berbicara menggunakan kerangka berpikir intelektual. Jangan berbicara tentang perasaan, apalagi berbicara tentang pemakzulan," ujar Hasto kepada wartawan, Rabu, 7 Juni 2023.
BACA JUGA:PDIP Lirik AHY Jadi Cawapres Ganjar, Demokrat Tolak Mentah-mentah: 'Capres Kami Anies!'
Diketahui, surat terbuka Denny Indrayana itu berisi tudingan yang menyebut Jokowi telah melanggar konstitusi. Ia menyebut, orang nomor satu di Indonesia tengah berupaya menjegal Anies Baswedan maju pada Pilpres 2024 mendatang.
Alasan itu yang kemudian membuat Denny yakin kalau Presiden Jokowi pantas dilengserkan.
Menanggapi itu, Hasto menjelaskan bahwa pemakzulan seorang kepala negara tidaklah mudah. Pasalnya, dia merupakan pemimpin yang dipilih berdasarkan suara dari rakyat.
"Dalam sistem politik ketika presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, legitimasi dan legalitas pemimpin nasional itu sangat kuat. Tidak bisa diberhentikan di tengah jalan. Itu harus melalui mekanisme yang tidak mudah," jelas Hasto.
BACA JUGA:Dulu Jadi Lawan Mudah Irfan Bachdim Cs, Kini Palestina 'Kangkangi' Ranking FIFA Indonesia
"Jadi, harus paham Bung Denny terhadap sistem politik kita. Makna pemilu presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung itu jaminan terhadap sistem," sambungnya.
Hasto kemudian memintanya untuk kembali membuka ingatan ke Pemilu 2009 silam.
Di situ, kata Hasto, muncul dugaan kalau instrumen negara dipakai pada Pemilu 2009 untuk menaikkan suara partai politik yang ada di lingkaran rezim kala itu hingga 300 persen.
"Nah, kalau berbicara pemakzulan, Pak Denny saya ajak untuk coba evaluasi pemilu yang terjadi pada tahun 2009, ketika instrumen negara digunakan, sehingga ada partai politik yang bisa mencapai kenaikan 300 persen," ujarnya.
BACA JUGA:Tak Tanggung-Tanggung! BMW i7 Jadi Mobil Listrik Premium Resmi untuk Pemimpin ASEAN Plus 2023