Ketika Filsafat dan Teologi Sama-Sama Ngegas Berebut Kebenaran
Pertarungan panjang filsafat dan teologi dari abad pertengahan hingga era modern menunjukkan bagaimana akal dan iman terus berebut ruang kebenaran.-Foto: Prime Matters-
JAKARTA, PostingNews.id — Dua tradisi besar dalam sejarah pemikiran Eropa, filsafat dan teologi, sudah lama seperti dua pengendara yang sama-sama ngegas di jalan penuh tikungan. Kadang mereka boncengan dan saling bantu, kadang malah saling serobot jalur. Dari zaman kuno sampai era modern, hubungan mereka penuh drama, tetapi justru di situlah lahir banyak gagasan besar yang membentuk cara manusia melihat dunia.
Filsafat ikut membentuk cara teologi dirumuskan sejak awal, sementara teologi juga berkali-kali mendorong Filsafat mengubah arah. Ketika Abad Pertengahan menguasai Eropa, Filsafat dijadikan alat bantu utama untuk memahami iman. Tetapi saat zaman Pencerahan datang, Filsafat mulai ingin bebas keluar rumah dan berjalan sendiri tanpa membawa doktrin di punggungnya.
Pada masa itu, filsafat diposisikan sebagai pembantu setia teologi. Istilah Latin Ancilla Theologiae dipakai untuk menandai bagaimana akal dan logika berada di bawah komando agama. Thomas Aquinas muncul sebagai pemain utama. Ia meramu filsafat Aristoteles dengan ajaran Kristen lewat Summa Theologica, karya besar yang seolah membuat akal dan iman duduk semeja. Bagi Aquinas, manusia bisa memahami sebagian kebenaran ilahi menggunakan akalnya, walau wahyu tetap menjadi komando tertinggi dalam keimanan.
Pemikir lain tidak kurang sibuk. Anselm merumuskan argumen tentang keberadaan Tuhan. Boethius dan Duns Scotus memoles konsep metafisika dan teologi supaya makin kokoh. Selama ratusan tahun, mereka semua membangun jembatan antara nalar dan keyakinan agar manusia punya pegangan lebih kuat dalam memahami dunia.
BACA JUGA:Plato Dianggap Pro Homoseksual, Fakta dari Bukunya Bikin Kaget
Saat Kampus-Kampus Tua Menjadikan Teologi Raja Ilmu
Kedekatan filsafat dan teologi tidak hanya muncul di buku-buku para pemikirnya, tetapi juga hidup dalam dunia akademik pada masa itu. Universitas-universitas besar seperti Sorbonne, Oxford, dan Padua menempatkan teologi sebagai puncak ilmu. Untuk bisa naik ke tingkat itu, para mahasiswa harus melewati Septem Artes Liberales. Filsafat terutama logika dijadikan bekal utama untuk melatih calon teolog agar mampu membela doktrin dengan argumen yang rapih dan tajam.
Arus pemikiran yang berpengaruh kuat pada saat itu adalah Neoplatonisme. Santo Agustinus, tokoh gereja yang pemikirannya meluas jauh ke depan, banyak memakai gagasan Plato tentang dunia spiritual yang lebih tinggi daripada dunia material. Ia menekankan bahwa pengetahuan sejati didapat dari kedekatan dengan yang ilahi, bukan sekadar dari pengamatan inderawi. Dengan begitu, teologi Kristen awal mendapat warna mistis namun tetap logis.
Tapi keadaan berubah drastis beberapa abad berikutnya. Ketika dunia memasuki abad ke-17 dan ke-18, percakapan besar mengenai kebenaran bergeser ke arah baru. Zaman Pencerahan datang membawa semangat untuk menjadikan akal manusia sebagai pusat pengetahuan. Filsafat yang dulunya dipakai untuk menguatkan ajaran agama kini mulai mempertanyakan hampir semuanya.
Descartes memulai dengan keraguannya. Spinoza mengajukan pandangan bahwa Tuhan dan alam adalah satu kesatuan. Locke ikut menegaskan bahwa pengetahuan manusia bersumber dari pengalaman, bukan doktrin. Lalu datang Galileo dan Newton dengan revolusi ilmiah yang membongkar cara lama memandang alam. Dengan rumus dan eksperimen, mereka memperlihatkan bahwa dunia bisa dipahami secara mekanis dan empiris tanpa harus merujuk pada kitab suci.
BACA JUGA:Siapa Sangka Hutan Amazon Disuburkan oleh Debu Sahara
Setelah itu, Immanuel Kant menutup pintu besar yang dulu dibuka Aquinas. Ia menyatakan bahwa akal manusia tidak mampu menilai benar atau tidaknya klaim teologis. Dengan kata lain, filsafat tidak bisa lagi dipaksa menjadi kaki tangan teologi. Sejak titik itu, dua tradisi yang dahulu jalan berdampingan kini memilih jalur berlawanan.
Kini, meskipun filsafat dan teologi berdiri sebagai disiplin yang berbeda, keduanya tetap saling bersentuhan. Percakapan tentang etika, metafisika, dan filsafat agama menjadi ruang pertemuan baru. Teologi tetap bersandar pada wahyu dan iman, sementara filsafat terus bertanya tentang makna hidup, moralitas, dan batas kemampuan manusia memahami dunia.
Sejarah panjang dua tradisi ini membuktikan bahwa meskipun sering berseberangan, filsafat dan teologi tidak pernah benar-benar meninggalkan satu sama lain. Mereka kembali bertemu ketika manusia mencari jawaban tentang siapa dirinya, dari mana ia datang, dan ke mana ia akan pergi. Pertarungan panjang berebut ruang kebenaran itu bukan sekadar konflik, tetapi juga sumber subur yang melahirkan cara-cara baru memahami kehidupan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News