Santer Wacana Sawit Mau Jadi Alternatif Hutan, Peneliti Langsung Tepok Jidat karena Terlalu Mengada-Ngada

Santer Wacana Sawit Mau Jadi Alternatif Hutan, Peneliti Langsung Tepok Jidat karena Terlalu Mengada-Ngada

Fakta dampak minyak kelapa sawit terhadap hutan, deforestasi, habitat satwa, dan isu lingkungan yang menyertainya. Apakah sawit benar-benar perusak hutan?-Foto: Antara-

JAKARTA, PostingNews.id – Sebuah unggahan yang berseliweran di platform X kembali memicu debat panjang soal nasib hutan dan peran kebun sawit di Indonesia. Kalimat yang ditampilkan oleh dalam unggahan itu berbunyi, "Sawit tidak bisa menggantikan hutan. Mengganti hutan dengan sawit bukan reboisasi. Itu deforestasi," dan langsung menyulut diskusi baru di tengah ancaman krisis lingkungan yang makin nyata.

Indonesia saat ini memegang posisi sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia. Produksinya mencapai 46 juta ton per tahun menurut data USDA 2024–2025, hampir dua kali lipat Malaysia. Lonjakan produksi sejak 2013 ikut mendorong perluasan lahan sawit ke berbagai penjuru dan meninggalkan dampak ekologis yang tak kecil.

Pertanyaan kemudian mengemuka di tengah percakapan publik yang memanas, apakah sawit benar bisa menggantikan peran ekologis hutan alam. Peneliti dari UGM, Hatma Suryatmojo, menegaskan bahwa keduanya sangat berbeda dari akar hingga tajuk, baik dalam struktur vegetasi maupun fungsi ekologisnya.

"Meski sawit sering diklaim tetap membuat lahan hijau, tapi sesungguhnya sama sekali berbeda dengan hijaunya hutan,” kata Hatma kepada wartawan yang diikutip Jumat, 12 Desember 2025.

BACA JUGA:Siapa Sangka Hutan Amazon Disuburkan oleh Debu Sahara

Ia menjelaskan bahwa hutan tropis memiliki lapisan tajuk berundak, lantai hutan yang rapat, serta tanah yang lebih kaya dan berstruktur alami sehingga mampu menahan air hujan. Tajuk, serasah, dan pori tanah bekerja bersama menjaga limpasan tetap rendah dan mencegah erosi, terutama saat curah hujan tinggi.

Kondisi ini sangat berbeda dengan kebun sawit yang homogen. Di sana, kemampuan lahan mengelola air jauh lebih rendah. Pada musim hujan lebat, kebun sawit lebih mudah menghasilkan aliran permukaan yang besar. Hatma menambahkan bahwa praktik pertanian intensif seperti penekanan gulma, penggunaan alat berat, dan jalan panen yang memadatkan tanah membuat lahan kehilangan kapasitas infiltrasinya. Efeknya adalah erosi yang mudah terjadi dan kestabilan air yang makin rapuh.

Aspek keanekaragaman hayati juga menjadi sorotan. Hatma menegaskan bahwa kebun sawit tidak mampu menyediakan habitat bagi banyak spesies. Ekosistem yang seragam tidak bisa menandingi kekayaan flora-fauna hutan alam, dan dampak jangka panjangnya adalah hilangnya fungsi hutan sebagai penyangga ekologis kawasan.

Ketika ditanya soal pencegahan banjir dan longsor, jawabannya tegas tanpa basa-basi. "Hutan tersisa harus dipertahankan. Itu harga mati." Ia menggarisbawahi pentingnya restorasi kawasan hulu DAS sebagai langkah wajib untuk menekan risiko bencana hidrometeorologi yang naik setiap tahun seiring perubahan iklim dan alih fungsi lahan.

BACA JUGA:PBNU di Persimpangan Jalan, Mahfud MD Bilang Penunjukan Pj Bisa Jadi Titik Runtuh Organisasi

Ia menambahkan bahwa fungsi lindung kawasan hulu DAS harus dikembalikan melalui upaya reforestasi. Kawasan lindung juga perlu diperkuat agar mampu menjadi benteng bagi wilayah tengah dan hilir yang kini lebih rentan akibat ekspansi lahan yang tak terkendali.

Unggahan viral itu pada akhirnya menjadi pengingat keras bahwa sawit bukanlah pengganti hutan. Para ahli mendesak agar kebijakan tata ruang yang berbasis sains dijadikan landasan utama agar kerusakan ekologis tidak berkembang menjadi bencana nasional di masa depan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Share