Sampah Plastik Indonesia Mengembara hingga Afrika, Laut Kini Menagih Pertanggungjawaban

Sampah Plastik Indonesia Mengembara hingga Afrika, Laut Kini Menagih Pertanggungjawaban

Riset BRIN ungkap sampah plastik Indonesia terbawa arus hingga Afrika. Ahli sebut laut kini menagih tanggung jawab manusia atas krisis sampah global.-Foto: Antara-

JAKARTA, PostingNews.id — Isu penumpukan sampah plastik di lautan kini telah melewati batas masalah lingkungan domestik dan menjelma menjadi ancaman global yang melintasi sekat-sekat geografis maupun politik. Menurut data United Nations Environment Programme, sekitar 11 juta ton plastik mengalir ke laut setiap tahun. Jika tren ini dibiarkan, maka pada 2050 jumlah plastik di laut diperkirakan akan melampaui populasi ikan. Menyadari besarnya ancaman tersebut, negara-negara di kawasan Indo-Pasifik mulai memperkuat kolaborasi lintas batas untuk menekan krisis sampah laut.

Salah satu bentuk langkah nyata diwujudkan melalui Lokakarya Internasional “Kolaborasi Indonesia-Taiwan dalam Peningkatan Tata Kelola Sampah Plastik Laut di Indo-Pasifik” yang digelar oleh The Habibie Center (THC) bersama Ocean Affairs Council (OAC) Taiwan. Direktur Eksekutif THC, Mohammad Hasan Ansori, menegaskan pentingnya kerja kolektif lintas negara. “Kita butuh kolektif dan shared responsibility dengan berbagai stakeholder dan negara lain. Karena kita tahu sendiri bahwa laut ini kan tidak ada batasnya,” ujarnya, dikutip dari National Geographic Indonesia, Senin, 11 November 2025.

Indonesia masih menjadi salah satu penyumbang utama sampah plastik laut di dunia. Meski pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut dengan target pengurangan hingga 70 persen pada 2025, target tersebut belum juga tercapai.

Muhammad Reza Cordova dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menjelaskan tantangan utama terletak di hulu sistem pengelolaan sampah. Dalam presentasinya yang bertajuk “Promoting Multistakeholder Partnership in Preventing Marine Plastic Debris in Indo-Pacific”, Reza memaparkan tingkat pengumpulan sampah dari sumber ke tempat pembuangan akhir di Indonesia masih di bawah 50 persen. Padahal pemerintah menargetkan angka 100 persen pada 2029.

BACA JUGA:Menag: Angka Perceraian Turun 2 Tahun Terakhir Efek Bimbingan Menikah

Dari total 6,8 juta ton sampah yang dihasilkan, sekitar 47 persen masih dibakar oleh rumah tangga, sementara 9 persen lainnya bocor ke sungai, danau, dan laut. Data tersebut memperlihatkan bahwa sebagian besar sampah di Indonesia masih berpotensi mencemari ekosistem perairan.

Sampah Indonesia yang Menyeberangi Samudra

Pada 2024, tim BRIN yang dipimpin Reza melepaskan sebelas alat pelacak satelit kecil atau drifter di muara Sungai Cisadane, Banten. “Dari sebelas drifter yang kami lepaskan di muara Cisadane, dua di antaranya hampir mencapai perairan Madagaskar dalam waktu kurang dari enam bulan,” ujarnya.

Simulasi menunjukkan bahwa sampah dari kota-kota besar di Indonesia dapat terbawa arus laut hingga ke perairan jauh seperti Balikpapan, Makassar, bahkan mencapai pesisir Afrika Selatan dan Samudra Pasifik. “Sekitar 10-20 persen sampah plastik Indonesia dapat melintasi Samudra Hindia menuju Afrika Selatan dalam kurun waktu kurang dari satu tahun,” ungkap Reza.

Yang lebih memprihatinkan, plastik di laut tidak menghilang, melainkan terurai menjadi partikel mikro. “Plastik tidak terurai, hanya terpecah,” katanya. Dalam risetnya, Reza mengungkapkan bahwa lebih dari 88,5 persen area mangrove di Indonesia telah tercemar plastik dengan kepadatan mencapai lebih dari lima item per meter persegi. Jenis yang paling banyak ditemukan adalah styrofoam, kemasan sachet, dan kantong plastik tipis.

BACA JUGA:PDIP: Pemerintah Tuli karena Abaikan Penolakan Gelar Pahlawan untuk Soeharto

Kondisi ini kian mengkhawatirkan karena mikroplastik telah masuk ke dalam rantai makanan manusia. “99 persen dari 182 sampel makanan laut yang diuji mengandung mikroplastik,” katanya mengutip riset Traylor et al (2024). “Kandungan mikroplastik dalam ikan Indonesia lima kali lebih tinggi dibandingkan dengan ikan dari perairan Amerika Serikat.”

Untuk mengatasi kebocoran masif ini, kerja sama internasional dianggap mutlak. Taiwan, yang dikenal memiliki sistem pengelolaan dan daur ulang sampah terbaik di dunia, menjadi mitra utama Indonesia. Direktur Departemen Pengembangan Internasional OAC Taiwan, Lee Shan-Ying, menjelaskan bahwa negaranya telah menetapkan visi “A Shared Ocean, A Sustainable Future” melalui National Ocean Policy White Paper.

Kebijakan Taiwan berfokus pada pemantauan dan integrasi data sampah laut, pemulihan peralatan tangkap ikan, pengembangan ekonomi sirkular, dan peningkatan literasi samudra. Lee menekankan pentingnya inovasi teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), pemetaan digital, serta pemberdayaan komunitas lokal dan pemuda sebagai penjaga laut. “Taiwan memiliki ragam inovasi berbasis komunitas yang dikelola oleh anak-anak muda secara aktif. Utamanya, karena sejak kecil, mereka sudah dibiasakan untuk memilah sampah,” ujarnya.

Dari Jepang, Michikazu Kojima dari Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) membagikan pengalaman panjang negaranya. Sejak 1960-an, banyak daerah di Jepang membentuk asosiasi pengelolaan sampah lintas kota untuk efisiensi ekonomi. Ia menilai model ini bisa menjadi inspirasi bagi Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News