Cendekiawan NU: Pesantren dalam Jerat Panoptikon Digital

Cendekiawan NU: Pesantren dalam Jerat Panoptikon Digital

Cendekiawan NU: Pesantren dalam Jerat Panoptikon Digital --

Pesantren, dengan tradisi epistemiknya yang berakar pada adab dan akhlak, justru memiliki keunggulan epistemik untuk menilai kebenaran moral bukan berdasarkan popularitas, melainkan kebijaksanaan. Namun, untuk mempertahankan otonomi ini, pesantren perlu membangun kemampuan membaca, memilah, dan merespons opini publik tanpa kehilangan ketenangan dan orientasi moral.

Perdebatan yang dibuka Ulil mengenai tradisi mencium tangan kiai merupakan studi kasus antropologis yang menarik tentang konflik nilai. Praktik tersebut, dalam kacamata simbolik pesantren, adalah ekspresi penghormatan terhadap ilmu dan adab. Dalam kacamata luar, ia tampak sebagai simbol feodalisme atau subordinasi. 

Perspektif hermeneutika Gadamer menegaskan bahwa pemahaman lintas tradisi memerlukan 'fusion of horizons', peleburan cakrawala makna. Tanpa itu, yang muncul hanyalah kesalahpahaman. Kalangan egalitarian-sekuler dan salafi, seperti dikritik Ulil, sama-sama jatuh pada kekeliruan hermeneutis ini: mereka menilai tradisi pesantren tanpa memahami horizon moral yang melahirkannya. 

Dalam antropologi moral, posisi keduanya disebut 'ethnocentric moralism', yaitu pemaksaan nilai tunggal atas praktik kebudayaan lain yang memiliki rasionalitas internal berbeda. Kritik Ulil terhadap dua bentuk egalitarianisme, baik itu puritan-salafi dan sekuler-progresif, layak diperluas ke ranah filsafat moral. Alasdair MacIntyre, dalam 'After Virtue', telah menunjukkan bahwa masyarakat modern kehilangan telos moral karena terputus dari tradisi kebajikan. 

Pesantren, dengan sistem nilai yang menekankan 'fadha’il al-akhlaq' (keutamaan moral), justru beroperasi dalam logika kebajikan Aristotelian: moralitas bukan soal hak atau kesetaraan, tetapi pembentukan karakter dan kebijaksanaan praktis (phronesis). Dalam perspektif ini, hirarki di pesantren bukan bentuk dominasi, melainkan mekanisme pedagogis. 

Ia menciptakan jarak simbolik yang memungkinkan proses penyerapan nilai secara bertahap. Antropologi pendidikan telah lama mengenal fenomena ini sebagai 'pedagogical hierarchy', struktur relasi yang menghasilkan transformasi moral, bukan ketundukan sosial.

Namun demikian, Ulil seolah mengidealisasi hirarki pesantren tanpa cukup mengakui potensi distorsi kekuasaan di dalamnya. Setiap sistem hirarkis berisiko mengalami degenerasi ketika prinsip spiritualnya bergeser menjadi prinsip duniawi. Pierre Bourdieu menyebutnya sebagai 'transubstantiation of symbolic capital', kondisi ketika kekuasaan simbolik spiritual berubah menjadi kekuasaan sosial-ekonomi. 

Pada poin ini, kritik eksternal terhadap pesantren tidak boleh seluruhnya ditolak, karena ia dapat berfungsi sebagai mekanisme 'self-correction' terhadap kemungkinan penyimpangan otoritas. Polemik publik, dengan demikian, tidak selalu destruktif; ia bisa menjadi dialektika yang berdaya guna bagi kemajuan pesantren.

Di sisi lain, ketika Ulil menuding bahwa kaum egalitarian-sekuler cenderung memaksakan nilai mereka sebagai satu-satunya standar moral, kita perlu mengingat kembali pentingnya perspektif pluralisme nilai. Tidak ada satu sistem nilai yang sepenuhnya benar atau salah; yang ada adalah benturan antara nilai-nilai yang sama-sama sah tetapi tak bisa dibandingkan. 

Maka, solusi yang dapat diajukan bagi pesantren bukanlah menolak atau tunduk, melainkan menegosiasi. Dalam kerangka antropologi interpretatif, pesantren dapat menjadi “zona translasional” tempat berbagai sistem nilai berdialog. Dunia pesantren dapat meminjam bahasa modern tanpa kehilangan ruh tradisionalnya. Inilah bentuk modernitas alternatif yang berbasis spiritualitas, semangat modernitas yang tidak tercerabut dari akar moralnya.

Pada bagian lain, Ulil menyatakan bahwa Salafisme “tidak akan memenangkan kompetisi” menyiratkan keyakinan historis pada daya tahan pesantren. Pernyataan ini dapat dibaca sebagai pembelaan terhadap rasionalitas tradisional yang bersifat 'embodied', bukan tekstual. Dalam antropologi agama, keberlangsungan pesantren justru karena ia mampu menginkorporasi teks ke dalam praktik sosial, bukan membekukannya dalam dogma. 

Namun, klaim bahwa Salafisme “tidak akan menang” sebaiknya dibaca bukan sebagai kemenangan pesantren, melainkan sebagai peringatan bahwa setiap tradisi keagamaan yang menolak dialog dengan realitas sosial akan kehilangan daya hidupnya. Pesantren bisa bertahan sejauh ia terus memperbarui diri tanpa mengkhianati sumber moralnya.

Refleksi Ulil dalam “Pesantren dan Panoptikon” ini membuka perdebatan penting tentang relasi antara tradisi, kekuasaan, dan teknologi dalam Islam kontemporer. Ia mengingatkan bahwa pengawasan bukan lagi monopoli negara atau institusi, tetapi menjadi bagian dari kesadaran kolektif digital. Tantangan bagi pesantren bukan sekadar bertahan dari sorotan publik, tetapi menafsir ulang posisinya sebagai penjaga spiritualitas dalam masyarakat yang menuhankan keterbukaan. 

Dalam era panoptikon ini, pesantren hanya akan tetap relevan jika mampu menampilkan wajah spiritual yang reflektif, bukan reaktif; otonom, bukan defensif; dan terbuka tanpa kehilangan arah moralnya. Dengan kata lain, di tengah “mata yang melihat segalanya”, pesantren harus belajar menjadi subjek yang melihat dirinya sendiri dengan jernih. Wallahu a‘lam bishawab.*

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News