Rumah Dijarah, Sri Mulyani Pilih Balas dengan Doa dan Etika

Rumahnya dijarah, Sri Mulyani tak terpancing amarah. Ia balas dengan seruan etika demokrasi dan permintaan maaf terbuka pada publik.-Foto: IG @catchmeupco-
JAKARTA, PostingNews.id – Alih-alih mengutuk atau melawan balik dengan amarah, Menteri Keuangan Sri Mulyani memilih jalur yang tak biasa setelah rumahnya di Bintaro, Tangerang Selatan dijarah ratusan massa tak dikenal. Dalam suasana yang bisa saja memicu dendam politik, ia tampil tenang dan menebar pesan moral, bukan caci maki.
Lewat unggahan di akun Instagram-nya @smindrawati pada Senin, 1 September 2025, Sri Mulyani mengawali pernyataannya dengan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah menyampaikan simpati dan dukungan atas peristiwa tersebut.
Tapi ucapan itu bukan sekadar basa-basi. Di balik tutur katanya yang halus, terselip seruan keras agar demokrasi tidak dibajak oleh amuk barbar.
Ia mengajak masyarakat untuk menyuarakan aspirasi melalui jalur yang beradab. “Saya memahami membangun Indonesia adalah sebuah perjuangan yang tidak mudah, terjal, dan sering berbahaya. Para pendahulu kita, telah melalui itu,” kata Sri Mulyani.
Dengan nada penuh refleksi, ia mengingatkan bahwa perjuangan politik seharusnya tetap berpijak pada nilai moral dan etika publik. “Politik adalah perjuangan bersama untuk tujuan mulia kolektif bangsa, tetap dengan etika dan moralitas yang luhur,” imbuhnya.
Tak defensif, tak playing victim, Sri Mulyani justru memulai babak baru dengan menyampaikan permohonan maaf atas kekurangan pemerintah dalam merumuskan dan mengeksekusi kebijakan. Sikap ini jarang ditemui di panggung politik hari ini, di mana kebanyakan pejabat lebih sibuk membentengi diri dengan buzzer daripada berkaca.
Bagi Sri Mulyani, kritik, bahkan makian, adalah bahan bakar bagi pemerintah untuk membenahi diri. Ia menolak jalan kekerasan dan kehancuran sebagai bentuk protes. “Mari kita jaga dan bangun Indonesia bersama, tidak dengan merusak, membakar, menjarah, memfitnah, pecah belah, kebencian, kesombongan, dan melukai dan mengkhianati perasaan publik,” ujarnya.
Dalam kalimat penutup yang lembut sekaligus menyentil, ia menyampaikan permohonan maaf secara terbuka: “Kami mohon maaf, pasti masih banyak sekali kekurangan. Bismillah, kami perbaiki terus menerus. Semoga Allah SWT memberkahi dan melindungi Indonesia. Jangan pernah lelah mencintai Indonesia.”
Namun, di balik keteduhan pernyataan itu, fakta di lapangan bicara lain. Penjarahan rumah Sri Mulyani bukan peristiwa acak. Saksi mata menyebut bahwa massa datang dalam dua gelombang pada pukul 01.00 dan 03.00 dini hari. Menurut staf keamanan rumah, Joko Sutrisno, dan kesaksian tetangga, aksi itu terlihat terorganisir.
“Aba-aba itu adalah kembang api, karena segera setelah bunyi kembang api, massa merangsek masuk komplek,” kata seorang tetangga. Bahkan, ada yang menyebut penggunaan drone dalam koordinasi aksi massa. Taktik lapangan ini lebih menyerupai operasi ketimbang demonstrasi spontan.
Sri Mulyani memang tidak membalas dengan kemarahan, tetapi pernyataannya menjadi tamparan sunyi bagi siapa pun yang menjadikan kekacauan sebagai senjata politik. Ketika rumahnya dibakar, ia malah bicara soal cinta. Ketika diserang, ia memilih menyapa lewat hati nurani. Dan mungkin, itu justru lebih menusuk daripada seribu pidato balasan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News