Utusan NTT Desak DPR Tuntaskan Kasus Kekerasan Seksual Ex Kapolres Ngada

APPA NTT menggelar RDPU dengan Komisi III dan XIII DPR-RI soal Kasus Kekerasan Seksual Ex Kapolres Ngada-APPA NTT-APPA NTT
POSTINGNEWS.ID - APPA NTT menggelar RDPU dengan Komisi III dan XIII DPR-RI. Undangan ini dilakukan atas pengaduan yang telah dilakukan oleh APA NTT dan Forum Perempuan Diaspora NTT, terkait dengan dugaan kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh ex Kapolres Ngada yang mandek dalam proses hukumnya.
Masih dalam suasana Hari Kebangkitan Nasional, APPA NTT dan Forum Perempuan Diaspora NTT mendatangi DPR RI untuk memberikan keterangan dan update informasi terbaru mengenai perkembangan penangangan kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh Ex Kapolres Ngada itu.
Kementrian dan beberapa Lembaga negara juga hadir dalam RDP tersebut, diantaranya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Ombusman Republik Indonesia, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Komisi Disabilitas Nasional dan beberapa organisasi sipil lainnya yaitu OUR Rescue dan JarNas Anti TPPO.
BACA JUGA:Main Cantik! Tersangkut Perkara Judol, Budi Arie Audiensi ke PKK Soal Koperasi Desa Merah Putih
Dalam RDP tersebut, Asti Lakalena yang didampingi oleh pendamping hukum korban menyampaikan ke DPR RI, mengenai perkembangan penanganan kasus yang mengalami kemandekan, karena sampai saat ini belum ada perkembangan lanjutan berkas perkara.
Asti menyampaikan bahwa berkas perkara masih bolak balik antara Penyidik Polda NTT dan Kejaksaan Tinggi NTT. Korban, Keluarga korban dan masyarakat NTT sangat membutuhkan kepastian hukum agar keadilan bagi korban tercapai.
"Kenapa kasus ini dikawal oleh kami, karena data kasus kejahatan seksual di NTT meningkat dalam lima belas tahun terakhir. Ini disampaikan berdasarkan fakta atas data dari Kepala Kantor Wilayah Pemasyarakatan NTT, Dimana tujuh puluh lima persen narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan merupakan pelaku kejahatan seksual," kata Asti.
Dalam RDPU tersebut, Sere Aba, selaku Koordinator Forum Perempuan Diaspora NTT- Jakarta meminta komitmen dari DPR-RI untuk mengawal dan mengawas proses penegakan hukum kasus ini dan memastikan kepada Kejaksaan Agung dan LPSK untuk memberikan pemenuhan hak-hak korban khususnya hak atas pemulihan dan restitusi.
Sere menambahkan untuk meminta kepada Mahkamah Agung yang merupakan mitra Komisi 3 DPR RI untuk merekomendasikan komposisi majelis hakim yang berperspektif terhadap korban dan sensitifitas gender.
Pendamping hukum korban Veronika Ata menyampaikan, kami sebagai pendamping hukum akan terus mengawal proses hukum ini sampai pada putusan yang adil bagi korban. Permintaan RDPU ini dilakukan oleh kami, karena kami melihat penanganan kasus ini sangat lamban dan tidak transparan.
BACA JUGA:Kata Prabowo, Produksi Beras dan Jagung di Eranya Terbesar dalam Sejarah RI
Tori Ata yang juga menjabat sebagai Ketua LPA NTT menambahkan, kami meminta agar seluruh hak-hak korban dapat diberikan sesuai dengan Undang-Undang 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan saksi dan korban, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2012 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan seksual.
Pada RDPU tersebut, APPA NTT menyampaikan tiga tuntutan kepada DPR-RI:
- Komisi III DPR RI mengawasi dan mengawal proses hukum yang diduga dilakukan oleh AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja (eks Kapolres Ngada), meminta agar proses hukum dilakukan secara transparan, akuntabel, dan tidak tunduk pada kekuasaan struktural pelaku, menjerat dan menghukum pelaku seberat-beratnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan pidana penjara maksimal dan hukuman kebiri kimia serta, melindungi korban, keluarga korban dan saksi.
- Meminta Komisi III DPR RI mendesak Kepolisian Republik Indonesia untuk memastikan Penyidik Kepolisian Daerah NTT menjerat pelaku dengan UU RI Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, UU RI Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang, UU RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU RI Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
- Memastikan proses hukum yang ramah pada korban dan anak.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News