JAKARTA, POSTINGNEWS.ID – Mengonsumsi makanan dan minuman panas ternyata ada adabnya. Agar bisa dikonsumsi dengan baik, makanan panas sebaiknya tidak ditiup melainkan ditunggu hingga panasnya hilang.
Dari Riwayat Abu Dawud dan At-Tirmidzi, “Dari Ibnu Abbas RA, bahwa Nabi Muhammad SAW melarang pengembusan nafas dan peniupan (makanan atau minuman) pada bejana,” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi). Dari imbauan ini, ulama Syafi’iyah kemudian memasukkan ke dalam adab mengonsumsi makanan, salah satunya tidak mengonsumsi makanan atau minuman dalam keadaan panas. Seseorang dianjurkan mengonsumsi makanan atau minuman setelah agak dingin. “Ia tidak memakannya dalam keadaan panas sampai agak dingin,” (Abu Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib). Oleh karena itu, kita memang sebaiknya menghindari makanan atau minuman panas karena membawa mudarat bagi kesehatan, setidaknya membuat iritasi lidah sehingga tidak dapat merasakan makanan atau minuman secara maksimal. BACA JUGA:Kulit Wajah Gelap Dibanding Bagian Tubuh Lainnya? Ini Penyebab dan Solusinya +++++ Solusinya tentu menunggu sampai suhu makanan atau minuman, kopi, berkurang sehingga dirasa agak hangat.Kalau memerlukan waktu cepat, kita dapat meniupnya, menggunakan kipas, atau merendam wadahnya untuk menurunkan suhu makanan atau minuman lebih cepat.
Sebagian ulama Mazhab Hanbali menyatakan bahwa peniupan makanan atau minuman pada dasarnya dimakruh untuk mendinginkan hidangan tersebut karena dapat menghilangkan berkah. “Al-Amidi mengatakan, meniup tidak dimakruh ketika makanan itu masih panas. Di dalam Al-Inshaf disebutkan, ini pendapat yang benar, yaitu (meniup makanan) ketika di sana ada kepentingan untuk mengonsumsinya ketika itu”. “Meniup wadah keduanya (makanan atau minuman) dimakruh karena sering kali sesuatu (racun/karbon dioksida) di mulut kembali ke wadah".Demikian juga makruh mengonsumsinya dalam keadaan panas karena tidak mengandung keberkahan di dalamnya sebagaimana di hadits jika tidak ada hajat untuk mengonsumsinya dalam keadaan panas. (Tetapi jika ada hajat), maka itu dimubah,” (Al-Bahuti, 1997 M/1417 H: IV/154).
Kategori :