JAKARTA, PostingNews.id — Chatbot AI pelan-pelan merayap masuk ke hidup banyak orang. Awalnya sekadar alat bantu kerja, lalu naik level jadi teman ngobrol. Nama-nama seperti ChatGPT, Claude, Gemini, dan Copilot kini tak lagi asing di layar ponsel dan laptop. Orang memakainya untuk menyusun email, merapikan laporan, sampai mencari ide yang mentok. Tapi belakangan, fungsinya melebar. Ada yang memakainya untuk curhat soal pasangan, soal hidup yang terasa buntu, atau sekadar mengusir sepi di tengah malam.
Di titik ini, AI tak lagi cuma mesin. Ia mulai diperlakukan seperti pendengar setia. Selalu ada. Tak menghakimi. Jawabannya rapi dan menenangkan. Namun di balik kenyamanan itu, muncul sisi lain yang bikin dahi para ahli berkerut. Sejumlah laporan menunjukkan bahwa pada sebagian kecil pengguna, interaksi yang terlalu intens dan berkepanjangan dengan chatbot justru bisa memicu atau memperparah gejala psikotik. Yang tadinya mencari bantuan, malah terseret ke masalah kesehatan mental yang serius.
Dampaknya bukan remeh. Ada pengguna yang kehilangan pekerjaan karena tak lagi mampu berfungsi normal. Hubungan sosial berantakan. Beberapa bahkan harus menjalani perawatan psikiatri tanpa persetujuan mereka sendiri. Dalam kasus ekstrem, interaksi dengan AI disebut-sebut ikut mengantar seseorang ke ruang tahanan dan penjara. Cerita-cerita semacam ini cukup banyak hingga melahirkan kelompok dukungan daring bagi orang-orang yang merasa hidupnya runtuh setelah terlalu jauh terlibat dengan chatbot.
Dari situ muncul istilah psikosis ChatGPT atau psikosis AI. Istilah ini masih liar, belum diakui sebagai diagnosis medis resmi. Namun keberadaannya mencerminkan kegelisahan yang nyata. Para psikiater dan peneliti mengakui ada pola yang tak bisa diabaikan. Masalahnya, data ilmiah soal fenomena ini masih minim. Pedoman penanganannya belum jelas. Dunia medis pun tertinggal dalam memahami dampak psikologis dari hubungan baru antara manusia dan mesin.
BACA JUGA:Gibran Tebar Cerita Manis, Klaim Puluhan Ribu Orang Datang Lihat IKN saat Nataru
Psikosis AI sendiri dipakai untuk menggambarkan kondisi ketika seseorang mulai mengembangkan delusi atau keyakinan menyimpang yang tampaknya dipicu atau setidaknya diperkuat oleh percakapan dengan chatbot. Namun istilah itu tak sepenuhnya disepakati. Dr James MacCabe, profesor studi psikosis di King’s College London, menilai penyebutannya problematis. “Istilah ini biasanya merujuk pada sekumpulan gejala, gangguan berpikir, halusinasi, dan delusi yang sering terlihat pada kondisi seperti gangguan bipolar dan skizofrenia. Namun dalam kasus-kasus tersebut, kita berbicara terutama tentang delusi, bukan keseluruhan spektrum psikosis.”
Para ahli sepakat bahwa ini bukan gangguan baru yang muncul tiba-tiba. Yang berubah adalah konteksnya. Kerentanan lama kini menemukan medium baru. Akar persoalannya ada pada cara chatbot dirancang. Mereka meniru bahasa pengguna, memvalidasi asumsi, dan menjaga percakapan terus mengalir. Nada yang suportif dan cenderung menyenangkan ini memberi rasa nyaman. Tapi bagi individu yang rentan, respons semacam itu justru bisa memperkuat pola pikir yang menyimpang.
Sebagian besar orang sebenarnya baik-baik saja menggunakan chatbot. Masalah muncul pada kelompok tertentu. Dr John Torous, psikiater di Beth Israel Deaconess Medical Center, mengingatkan bahwa penggunaan chatbot saja hampir mustahil menyebabkan psikosis tanpa faktor risiko lain. “Saya rasa penggunaan chatbot itu sendiri tidak mungkin menyebabkan psikosis jika tidak ada faktor risiko genetik, sosial, atau faktor risiko lainnya yang berperan,” katanya. “Tetapi orang mungkin tidak menyadari bahwa mereka memiliki risiko semacam ini.”
Risiko itu bisa datang dari riwayat pribadi atau keluarga dengan psikosis, skizofrenia, atau gangguan bipolar. Dr Ragy Girgis dari Columbia University menambahkan bahwa ciri kepribadian tertentu juga berpengaruh. Kesulitan bersosialisasi, regulasi emosi yang buruk, hingga kecenderungan hidup dalam dunia fantasi bisa membuat seseorang lebih rentan.
BACA JUGA:Soal Pilkada Lewat DPRD, ICW Sebut Ruang Transaksi Politik Bisa Makin Gelap
Durasi penggunaan menjadi faktor krusial. Dr Nina Vasan, psikiater dari Stanford, menyoroti soal waktu. “Waktu tampaknya menjadi faktor terpenting,” katanya. “Orang-orang menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari untuk berbicara dengan chatbot mereka.”
Pada dasarnya, chatbot tidak berbahaya. Tapi kehati-hatian tetap diperlukan, terutama bagi mereka yang menjadikan AI sebagai teman bicara utama. Hamilton Morrin, ahli neuropsikiatri di King’s College London, mengingatkan bahwa large language models hanyalah alat. Bukan teman. Meski mampu meniru nada bicara dan mengingat preferensi pengguna dengan sangat baik, AI tetaplah mesin.
Karena itu, Morrin menyarankan agar pengguna tidak berbagi informasi secara berlebihan dan tidak menjadikan chatbot sebagai sumber utama dukungan emosional. Dalam kondisi krisis mental, langkah paling sederhana dan efektif justru menghentikan sementara penggunaan chatbot.
Di sini peran keluarga dan teman jadi penentu. Perubahan suasana hati, gangguan tidur, menarik diri dari lingkungan sosial, obsesi berlebihan terhadap ideologi pinggiran, atau penggunaan AI yang ekstrem patut dibaca sebagai tanda peringatan. Sayangnya, sejauh ini beban kewaspadaan masih lebih banyak dipikul pengguna sendiri.
BACA JUGA:Busyro Muqoddas Sebut Kepemimpinan Prabowo Kehilangan Arah