JAKARTA, PostingNews.id – Bagi kebanyakan orang, pantai identik dengan libur panjang, sandal jepit, dan kepala yang akhirnya bisa rehat dari rutinitas. Namun jauh sebelum pantai dipenuhi payung warna-warni dan kamera ponsel, wilayah pesisir sudah lebih dulu dipercaya sebagai tempat memulihkan badan dan pikiran. Pada abad ke-18, dokter-dokter di Eropa bahkan memasukkan laut ke dalam resep medis. Pasien dengan penyakit berat seperti tuberkulosis hingga lepra dianjurkan mendekat ke air asin.
Waktu siang dihabiskan dengan berendam, bahkan meminum air laut yang kaya mineral. Malamnya, mereka diminta beristirahat sambil ditemani angin asin dan suara ombak yang tak pernah benar-benar berhenti. Praktik itu lahir dari keyakinan lama bahwa laut menyimpan daya penyembuh yang tak dimiliki daratan.
Seiring waktu, sebagian klaim terapi laut memang runtuh di hadapan ilmu kedokteran modern. Namun sains justru menemukan hal lain. Kedekatan manusia dengan alam, termasuk laut, terbukti membawa manfaat nyata. Salah satu tonggak penting muncul pada 1984, ketika sebuah penelitian menunjukkan bahwa pasien pascaoperasi yang dirawat di kamar dengan pemandangan alam pulih lebih cepat dan merasa lebih nyaman dibanding mereka yang hanya menatap dinding bata.
Temuan ini membuka jalan panjang bagi psikologi lingkungan. Para peneliti mulai bertanya, mengapa manusia seolah “dirancang” merasa lebih baik saat berada di luar ruangan. Selama bertahun-tahun, fokus penelitian tertuju pada ruang hijau seperti taman dan hutan. Namun belakangan, perhatian bergeser ke wilayah yang lebih biru.
BACA JUGA:Bendera Bulan Bintang Picu Ketegangan di Aceh, TNI Bantah Pukul Warga
Peralihan ini dipelopori Mat White, psikolog lingkungan yang juga peselancar dan perenang alam terbuka. Pada 2010, ia dan timnya menemukan bahwa orang cenderung menilai foto lingkungan, baik alami maupun perkotaan, sebagai lebih menarik dan menenangkan ketika ada unsur air di dalamnya. Studi yang kemudian dikutip ribuan kali ini melahirkan gelombang riset tentang apa yang kini dikenal sebagai ruang biru.
Lalu apa yang sebenarnya terjadi pada tubuh dan otak ketika seseorang menghabiskan waktu di pantai.
Begitu kaki menjejak pasir, pikiran biasanya langsung melambat. Psikolog menyebutnya sebagai attention restoration, sebuah kondisi ketika perhatian menjadi lebih lembut dan tidak lagi menuntut kerja kognitif berat. Pada fase awal riset ruang biru, White dan rekan-rekannya menganalisis data ribuan responden untuk melihat lingkungan alami mana yang paling efektif memulihkan mental. Hasilnya, wilayah pesisir sedikit mengungguli hutan dan pegunungan.
Apa rahasia pantai. Catherine Kelly, penulis buku tentang ruang biru, menduga jawabannya ada pada skala dan suasana. Pantai menawarkan lanskap luas dengan suara latar yang imersif. Saat berada di tepi laut, perhatian kita secara alami tertarik ke cakrawala. Ada rasa takjub yang muncul, perasaan kecil di hadapan sesuatu yang jauh lebih besar.
Rasa takjub ini bukan emosi remeh. Ia muncul ketika manusia berhadapan dengan sesuatu yang luas dan sulit dijangkau nalar. Emosi ini diketahui dapat menurunkan stres, memperkuat rasa tujuan hidup, dan mendorong perilaku yang lebih peduli pada orang lain.
BACA JUGA:Afrika Diam-Diam Terbelah, Daratan Timur Bersiap Pisah dan Bentuk Samudra Baru
Teori pemulihan perhatian yang dikenalkan pada akhir 1980-an menyebut bahwa lanskap paling menenangkan adalah yang menarik secara lembut. Pemandangannya cukup dinamis untuk membuat mata bergerak, tetapi cukup dapat diprediksi untuk memberi ruang istirahat bagi pikiran. Ombak laut memenuhi kriteria itu. Gerakannya berulang, ritmenya konsisten, dan jarang mengejutkan.
Dampak ombak terhadap stres memang belum banyak diteliti secara ketat. Namun ada bukti bahwa melihat pola fraktal, yakni pola berulang pada berbagai skala seperti gelombang laut, berkaitan dengan perubahan gelombang otak. Frekuensi alfa meningkat, sebuah penanda relaksasi.
Berdasarkan pengalamannya sebagai peselancar dan riset tentang ruang hijau, Easkey Britton menduga ombak juga menuntut kehadiran penuh. Fokus pada gerak air membuat pikiran tak sempat berputar-putar pada kecemasan. Rasa hadir sepenuhnya inilah yang membebaskan orang dari pikiran berulang yang melelahkan.
Ketika pikiran melambat, tubuh justru sering bergerak lebih aktif. Pantai mendorong orang berjalan lebih jauh, berenang lebih lama, atau sekadar bermain lempar bola tanpa merasa terbebani. Penelitian menunjukkan bahwa lanskap pesisir mendorong aktivitas fisik beserta manfaat kesehatannya.
Sebuah studi pada 2020 menemukan bahwa orang cenderung berolahraga lebih lama saat berada di apa yang disebut sebagai gym biru. Salah satu alasannya sederhana. Waktu terasa lebih longgar ketika berada dekat air. Aktivitas fisik yang lebih panjang, ditambah efek penurunan stres, berpotensi memperbaiki kualitas tidur.
BACA JUGA:Telepon Natal Prabowo ke Hotman Paris, Pujian Bisnis Mengalir tapi Ada Pesan Narkoba
Analisis data terbaru terhadap puluhan ribu orang dewasa di berbagai negara menunjukkan bahwa kunjungan rutin ke ruang biru dan hijau berkorelasi dengan risiko lebih rendah mengalami kurang tidur. Mereka yang sering mendekat ke alam cenderung tidur lebih dari enam jam per malam.
Pantai juga berperan dalam memperbaiki suasana hati. Psikolog klinis Richard Shuster menyebut bahwa memandang laut dapat membawa seseorang ke kondisi meditatif ringan. Gerakan ombak yang datang dan pergi menciptakan sensasi menenangkan bagi indra.
Temuan ini sejalan dengan riset neuroimaging yang menunjukkan bahwa meditasi rutin dapat mengubah struktur otak. Area yang berkaitan dengan belajar, daya ingat, pengelolaan emosi, dan kemampuan melihat persoalan dari berbagai sudut pandang menunjukkan perubahan positif.
Tak berhenti di situ. Suara ombak diketahui mengaktifkan sistem saraf parasimpatis, bagian dari sistem saraf yang berfungsi memperlambat respons tubuh. Detak jantung melambat, napas menjadi lebih dalam, dan tubuh masuk ke mode rileks. Dalam kondisi ini, rasa keterhubungan dengan lingkungan sekitar pun meningkat.
Pantai, dengan segala kesederhanaannya, bukan sekadar tempat berlibur. Ia bekerja pelan, tanpa janji berlebihan. Pasir, air asin, dan ombak yang berulang menyentuh tubuh dan pikiran dengan cara yang tak selalu disadari, namun terasa efeknya lama setelah pulang ke rumah.