JAKARTA, PostingNews.id — Isu lama soal keaslian ijazah Joko Widodo kembali nongol ke permukaan. Seperti kaset kusut yang diputar ulang, tudingan terhadap mantan Presiden ke-7 RI itu lagi-lagi bikin gaduh ruang publik. Kali ini, suara datang dari Hasan Nasbi, mantan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, yang tampak gerah melihat cara berpikir para penuduh Jokowi.
Hasan tidak bicara dengan nada meledak-ledak. Ia memilih jalur lain. Pelan, tapi nyentil. Dalam sebuah obrolan di kanal YouTube Total Politik, Hasan membedah apa yang ia anggap sebagai logika jungkir balik yang dipakai untuk terus menyeret Jokowi ke sudut ring. Bagi Hasan, persoalannya bukan sekadar ijazah, melainkan cara orang memahami prinsip paling dasar dalam hukum.
Ia mengingatkan satu hal yang sering luput di tengah ribut-ribut opini. Dalam hukum, yang wajib membuktikan itu bukan orang yang dituduh, melainkan mereka yang menuduh. Memaksa seseorang membuktikan dirinya tidak bersalah di ruang publik, kata Hasan, adalah kesalahan berpikir yang fatal.
Untuk menjelaskan betapa ganjilnya tuntutan agar Jokowi memamerkan ijazah aslinya ke publik, Hasan mengeluarkan analogi sederhana yang langsung kena sasaran. Ia bicara soal rekening koran, sesuatu yang sangat personal dan rasanya tak masuk akal jika harus diumbar hanya karena tuduhan.
BACA JUGA:Surat Mualem ke PBB Dipersoalkan, Wakil Aceh di DPR Minta Pusat Lebih Legowo
“Bisa dibalik kayak gini, ‘Eh kamu dibayar sama si A’. Terus dia bilang ‘Nggak’. Terus saya juga bisa bilang, ‘Ya, kalau kamu nggak dibayar sama si A buktikan dong bukti transfer rekening kamu ke publik’. Boleh nggak kayak gitu?” ujar Hasan Nasbi, dikutip Selasa 16 Desember 2025.
Menurut Hasan, logika semacam itu jelas bermasalah. Ia lalu menantang balik para penuduh, apakah mereka siap jika standar yang sama diterapkan ke diri mereka sendiri. Apakah mereka mau membuka rekening pribadi ke publik hanya karena dituding tanpa bukti.
“Boleh nggak saya begitu? Dia bersedia nggak kira-kira buka rekening ke publik? Saya tuduh dia menerima transferan dari si A. Teruskan gampang urusannya nggak harus bawa ke pengadilan memperkarakan saya. Buka saja bukti rekening kamu. Ini kamu buktinya nggak ditransfer sama si A kok. Berani nggak dia kayak gitu? Kan sama ijazah ini sama,” lanjut Hasan.
Bagi Hasan, ijazah asli maupun rekening koran berada di wilayah yang sama. Keduanya adalah dokumen privat yang tidak seharusnya dijadikan tontonan publik hanya demi meladeni debat kusir. Ia menegaskan bahwa dokumen semacam itu baru relevan dibuka ketika sudah masuk ke ranah hukum, bukan sekadar adu teriak di media sosial atau podcast.
BACA JUGA:Kuota Haji Terus Diusut, KPK Panggil Eks Bendahara Amphuri dan Yaqut
Ia menilai, jika para penuduh merasa yakin dengan tudingannya, jalurnya jelas. Gugat ke pengadilan. Di situlah mekanisme hukum bekerja. Di depan hakim, Jokowi berkewajiban menunjukkan bukti, bukan di hadapan publik yang sudah terbelah oleh opini.
Untuk menutup penjelasannya, Hasan kembali memberi ilustrasi lain yang tak kalah sederhana. Kali ini tentang sertifikat rumah, sesuatu yang akrab dengan kehidupan sehari-hari.
“Sama juga, misalnya tiba-tiba dituduh ‘Ini bukan rumah lu’, dia bilang ‘Ini rumah gua. Gua punya sertifikatnya’. Terus bilang, ‘Mana buktinya sertifikat lu’. Kan bukan di depan kamu saya harus tunjukan sertifikat saya. Kecuali kamu tuntut saya ke pengadilan, baru saya buka sertifikat saya,” tegasnya.
Lewat analogi-analogi itu, Hasan seperti ingin menarik publik turun sejenak dari hiruk pikuk politik. Bukan untuk membela siapa pun secara emosional, melainkan mengajak berpikir waras. Bahwa dalam negara hukum, tuduhan bukan sekadar teriak, dan pembuktian bukan kewajiban orang yang dituding di ruang terbuka.