JAKARTA, PostingNews.id — Rapat pleno Pengurus Besar Nahdlatul Ulama akhirnya mengetok palu dengan menunjuk Zulfa Mustofa menjadi Penjabat Ketua Umum PBNU. Keputusan ini otomatis menempatkan dirinya di kursi yang biasanya diduduki Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya, setidaknya sampai muktamar ke-35 nanti benar-benar digelar.
Rapat berlangsung tertutup di sebuah hotel kawasan Jakarta. Para petinggi keluar malam-malam membawa keputusan yang sudah lama ditunggu. Tidak ada sorak-sorai, tidak ada drama, tapi publik NU jelas langsung menajamkan telinga.
“Penjabat Ketua Umum PBNU untuk sisa masa bakti ditetapkan kepada K.H. Zulfa Mustofa,” kata pimpinan rapat pleno Muhammad Nuh dalam keterangan pers selepas rapat yang berlangsung tertutup, Selasa malam, 9 Desember 2025.
Nuh menjelaskan bahwa dengan ketukan itu, Zulfa kini resmi memegang mandat strategis sebagai pemimpin sementara PBNU. Tugasnya bukan main-main. Ia mesti memastikan organisasi tetap berjalan lurus, administrasi tidak tersendat, dan segala urusan dapur organisasi tetap mengepul sampai muktamar digelar. “Beliau akan memimpin sebagai pejabat ketua umum dan melaksanakan seluruh tugas sampai muktamar digelar,” ujar dia.
BACA JUGA:DPR: Bantuan Negara yang Lebih Jumbo Kalah Viral Sama Bantuan Relawan yang Sok Paling Aceh
Lalu, publik pun mulai sibuk bertanya: siapakah sebenarnya Zulfa Mustofa ini?
Pria kelahiran Jakarta, 7 Agustus 1977 itu sebelumnya menduduki jabatan Wakil Ketua Umum PBNU. Latar keluarganya cukup berserat NU: putra dari Kiai Haji Muqarrabin dan Nyai Haji Marhumah Latifah. Sang ibu adalah saudara kandung Ma’ruf Amin, Wakil Presiden ke-13. Alhasil, secara keluarga, Zulfa adalah keponakan Ma’ruf Amin—status yang tentu cukup membantu orang mengingat namanya.
Karier organisasi Zulfa dimulai jauh sebelum gedung-gedung PBNU mengakui langkahnya. Berdasarkan catatan NU Online, ia bergabung sebagai kader Gerakan Pemuda Ansor di Tanjung Priok pada 1997. Di sanalah ia berkutat di bidang penelitian dan pengembangan. Kerjanya mengurusi kegiatan kajian yang rutin digelar dan mampu menghimpun jemaah sampai ratusan orang. Tradisi itu terus ia jaga, seakan menjadi tapak awal yang merangkai kariernya sampai hari ini.
Jejak organisasi Zulfa tidak berhenti di Ansor dan PBNU. Namanya terdaftar pula dalam jajaran pengurus Majelis Ulama Indonesia periode 2025–2030. Dalam struktur pusat MUI, ia menempati posisi Wakil Sekretaris. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Sekretaris Jenderal MUI DKI Jakarta. Dari ibu kota menuju pusat, jalannya tampak mulus.
BACA JUGA:Memahami Motivasi Pasukan Suka Repot di Banjir Sumatera yang Tak Pernah Lelah
Soal pendidikan, langkah Zulfa juga cukup berliku. Ia memulai dari SD Al-Jihad, Jakarta Utara, lalu pindah ke Pekalongan saat kelas 4 hingga tamat. Pendidikan menengahnya dimulai di Madrasah Tsanawiyah Salafiyah Simbangkulon, kemudian pindah mengalir ke Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah. Madrasah aliyahnya ia selesaikan di sana.
Selepas itu, ia langsung turun gelanggang menggantikan posisi ayahnya mengajar di majelis taklim. Dunia pengajaran tampaknya memang tidak jauh dari darahnya. Pada tahun 2000, Zulfa merintis majelis taklim sendiri bernama Darul Musthofa. Dari sanalah ia mulai membangun jamaah, reputasi, dan jaringan yang akhirnya loh kok bisa—mengantarnya ke pucuk PBNU hari ini.
Laju akademiknya pun tak kalah mencolok. Pada 25 September 2024, Zulfa menerima gelar doktor honoris causa bidang Ilmu Arudl Kesusastraan Arab dari Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya. Dalam momen itu, ia membacakan orasi ilmiah berjudul Menghidupkan Kembali Syair Arab di Masyarakat Indonesia.
Isi orasinya membahas kajian mengenai kontribusi syair Arab sebagai instrumen pendidikan karakter—tema yang tampaknya cukup pas untuk seorang ulama yang gandrung pada literasi klasik.
BACA JUGA:Usulan Pilkada via DPRD Makin Nyaring, PAN Setuju karena Ongkos Politik Mahal