Franky Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, mengingatkan bahwa sejak era proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate hingga PSN Pangan dan Energi yang melebar ke Boven Digoel dan Mappi, tak satu pun peraturan daerah mengenai pengakuan masyarakat hukum adat terbit.
Ia menyebut warga adat yang mempertahankan tanah ulayat malah sering diposisikan sebagai pihak yang melawan hukum, lengkap dengan risiko berhadapan dengan pasal pidana.
“Pemerintah seharusnya berhenti menjadikan Masyarakat Adat sebagai ornamen diplomasi dan mulai menepati janji perlindungan yang nyata” kata Franky. Ia menilai salah satu langkah mendesak adalah mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat agar dasar hukum perlindungan menjadi lebih kuat dan konsisten.
Semua suara tersebut pada intinya meminta pemerintah berhenti menabur janji yang tidak menembus akar persoalan. Tanpa keberanian menyelesaikan konflik dan mengakui wilayah adat secara penuh, pengakuan 1,4 juta hektare hanya akan menjadi angka besar di atas kertas, sementara di lapangan masyarakat adat terus kehilangan hutan yang mereka jaga turun-temurun.