Pandangan berbeda datang dari Senayan. Anggota Komisi VI DPR, Mufti Anam, justru memuji wacana ini. Ia melihatnya sebagai peluang memberi warga lebih banyak pilihan transportasi.
“Infrastruktur publik tidak boleh memonopoli pilihan rakyat,” kata Mufti. Ia tak mempermasalahkan persaingan dengan Whoosh, selama harga tiket Kilat Pajajaran nanti benar-benar ramah bagi pekerja harian yang selama ini masih menghitung pengeluaran ongkos dengan sangat ketat.
“Dan faktanya, sampai hari ini Whoosh belum bisa dijangkau semua kalangan, terutama masyarakat pekerja. Jadi, setiap opsi transportasi yang lebih cepat dan lebih murah harus kita dukung penuh,” ujar Mufti.
Meskipun begitu, Mufti mengingatkan bahwa semua klaim manis ini harus diuji dengan kalkulasi anggaran. Jangan sampai proyek ambisius ini justru menyeret Jabar ke lubang baru. “Jangan sampai kita keluar dari mulut buaya, masuk ke mulut singa. Maksud proyek ini kan memberi pilihan transportasi yang lebih murah, lebih cepat, dan tidak membebani rakyat. Tapi kalau biayanya terlalu besar, yang terjadi justru sebaliknya,” katanya.
BACA JUGA:Parpol Berlomba Bantu Korban Banjir Sumatera, Warga Terbantu tapi Aroma Cari Panggungnya Tercium
Dengan sederet dukungan, keraguan, dan pertanyaan yang belum terjawab, Kilat Pajajaran kini menjadi wacana transportasi paling panas di Jawa Barat. Ia bisa saja menjadi terobosan besar, atau justru menjadi proyek yang harus dipikirkan ulang sebelum benar-benar melaju di atas rel.