JAKARTA, PostingNews.id – Banjir dan tanah longsor yang menyapu Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat selama sepekan terakhir jadi ujian besar buat negara. Dampaknya kelewat luas, sementara pemerintah daerah kewalahan, jadi pemerintah pusat terpaksa turun tangan langsung mempertebal penanganan di lapangan.
Hingga Selasa siang, 2 Desember 2025, data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana menunjukkan angka yang bikin kepala berat. Sebanyak 659 orang meninggal, 475 orang hilang, dan lebih dari 2.600 luka-luka. Total warga terdampak tembus 3,2 juta jiwa, dengan 1,1 juta di antaranya harus mengungsi.
Ada 50 kabupaten dan kota yang masuk kategori terdampak langsung. Kerusakan fisik juga bikin geleng-geleng. Lebih dari 3.500 rumah rusak berat, 2.000 rumah rusak sedang, 3.500 lagi rusak ringan. Tidak berhenti di situ, ada 322 fasilitas publik yang kena, ditambah 277 jembatan putus atau rusak parah hingga bikin akses ke banyak wilayah terpangkas.
Meski skalanya gede banget, Presiden Prabowo Subianto belum menetapkan kejadian ini sebagai bencana nasional. Tapi pemerintah pusat tetap all out kirim bantuan, dari logistik, alat berat, sampai ribuan personel TNI dan BNPB yang dikerahkan ke titik-titik kritis.
BACA JUGA:Stok Beras Banjir Sumatera Aman, Mentan Bilang Urusan Administrasi Belakangan, yang Penting Kirim Dulu
Presiden Prabowo sendiri datang langsung meninjau penanganan bencana di Tapanuli Tengah di Sumatera Utara, lalu Aceh Tenggara di Aceh, dan Padang Pariaman di Sumatera Barat pada Senin 1 Desember 2025. Di titik pengungsian itu, ia menegaskan bahwa pemerintah sedang tancap gas mempercepat bantuan dan memulihkan infrastruktur yang putus.
Setelah meninjau tiga provinsi itu, Presiden belum menaikkan status darurat ke bencana nasional. Saat diwawancarai di Bandara Raja Sisingamangaraja XII di Tapanuli Utara, ia bilang kondisi mulai berangsur membaik. Apalagi prediksi cuaca juga menunjukkan perbaikan dalam waktu dekat. ”Saya kira kondisi yang sekarang, darurat provinsi, sudah cukup,” ujar Prabowo.
Indonesia bukan pertama kali dihajar bencana besar. Dari era presiden ke presiden sebelumnya, gempa, banjir, longsor, hingga tsunami seolah jadi tamu tak diundang yang datang berkala. Letak Indonesia yang nangkring di pertemuan tiga lempeng tektonik dan berada di sabuk cincin api ditambah iklim tropis dengan curah hujan tinggi memang menjadikannya negara yang super rawan bencana.
Tiga dekade lalu, di masa Presiden ke-2 Soeharto, Indonesia menghadapi bencana besar yang tercatat tebal dalam sejarah. Sabtu siang, 12 Desember 1992, pukul 13.29 Wita, gempa dahsyat mengguncang Flores di Nusa Tenggara Timur.
BACA JUGA:631 Tewas, 472 Hilang, Pemerintah Siapkan Huntara untuk Korban Banjir Sumatera
Gempa itu tercatat 6,8 pada skala Richter menurut data nasional, tapi menurut Lembaga Geofisika Strasbourg di Perancis guncangannya bahkan mencapai 7,5. Pukulan terkeras terasa di Flores bagian tengah dan timur.
Belum pulih dari guncangan, tsunami datang beberapa menit kemudian dan menyapu daratan sampai 300 meter ke dalam, terutama di Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka. Gempa dan tsunami ini menewaskan lebih dari 2.000 orang.
Dua hari setelah kejadian, muncul dorongan agar status bencana ini dinaikkan jadi nasional. Pemerintah masih mempertimbangkan kriteria dan dampaknya. ”Presiden minta kepada saya untuk meneliti hal ini, tentu ada kriterianya,” ujar Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, dikutip harian Kompas edisi 15 Desember 1992.
Empat hari setelah bencana, Presiden Soeharto akhirnya menetapkan gempa dan tsunami Flores sebagai bencana nasional lewat Keputusan Presiden Nomor 66 Tahun 1992 yang ditandatangani 16 Desember 1992. Dari situ, pintu bantuan nasional dan internasional terbuka lebar.
BACA JUGA:Data Basarnas Beda dengan BNPB, Korban Banjir Sumatera Ternyata Lebih Banyak dari Perkiraan
Presiden Soeharto memerintahkan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat yang memimpin Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana untuk segera menyusun program penanganan, mencatat kerusakan, dan menjalankan pemulihan darurat.
Pemerintah pusat saat itu memprioritaskan kebutuhan mendesak seperti pangan, air bersih, layanan kesehatan, dan mempercepat rehabilitasi rumah, sekolah, puskesmas, serta fasilitas umum. Semua dilakukan bahkan dengan bahan bangunan semipermanen jika diperlukan.
Bantuan internasional langsung mengalir deras. Australia mengirim tenda, terpal, tangki apung, jeriken, dan antibiotik. Belanda memberi 1 juta gulden dan obat-obatan. Jepang lewat JICA menyumbang selimut, obat, perlengkapan medis, dan tenda senilai 65 juta yen di samping bantuan awal 1,5 juta dollar AS.
Bantuan juga datang dari Amerika Serikat, Kanada, Perancis, Inggris, Italia, Singapura, Belgia, Sudan, dan Jerman dalam bentuk uang tunai, tenda, obat-obatan, dan perlengkapan darurat lainnya.
BACA JUGA:BMKG Blak-blakan: Indonesia Tak Siap Hadapi Bencana Banjir Sebesar di Sumatera
Presiden Soeharto dan Nyonya Tien mengunjungi Maumere pada 23 Desember 1992. Presiden meninjau Kampung Bero yang rata tanah, berbicara dengan korban yang dirawat di tenda darurat RSU TC Hillers, dan meminta pemerintah daerah memprioritaskan pembangunan kembali rumah warga dan fasilitas publik yang rusak.
Bencana besar lain yang menghantam Indonesia adalah tsunami Aceh-Nias 26 Desember 2004. Sekitar pukul 07.58 pagi, gempa besar di Samudra Hindia berkekuatan 8,2 Mw mengguncang kawasan itu. Ini tercatat sebagai salah satu gempa terbesar sepanjang sejarah.
Pusat gempa berada di dasar laut 30 km dekat pertemuan lempeng Indo-Australia dan Eurasia. Pergerakan lempeng besar ini memicu gempa megathrust yang membuat air laut tersentak dan membentuk tsunami dengan kecepatan 800 km per jam, menghantam pesisir barat Sumatra hingga ke negara tetangga dari Thailand sampai Maladewa.
Saat itu, dalam sehari saja korban tewas diperkirakan sudah mencapai 10.000 orang. Pada 27 Desember 2004, sehari setelah kejadian, Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono langsung menetapkan hari berkabung nasional, status darurat kemanusiaan, dan bakti sosial tiga hari.
BACA JUGA:GOTO–Grab Masih PDKT, Manajemen Ngaku Siap Kalau Pemerintah Minta Merger
Keputusan itu sekaligus menetapkan tsunami Aceh dan Sumatera Utara sebagai bencana nasional dengan Keputusan Presiden Nomor 112 Tahun 2004 tentang Penetapan Bencana Alam Gempa Bumi dan Gelombang Tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Sumatera Utara sebagai Bencana Nasional dan Hari Berkabung Nasional.
Bagaimana Ketentuan Status Bencana Nasional?
Tsunami ini benar-benar menyapu habis banyak hal. Secara keseluruhan diperkirakan 167.000 orang meninggal dan ribuan lainnya hilang atau terluka. Namun karena status bencana nasional ditetapkan cepat, pemerintah pusat bisa langsung ambil alih kemudi penanganan dan pemulihan. Bantuan dari luar negeri pun mengalir deras tanpa hambatan birokrasi.
Bencana gempa besar juga menghantam Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah pada 27 Mei 2006. Gempa berkekuatan 6,3 sampai 6,4 Mw atau 5,9 SR ini meratakan ribuan rumah, terutama di Kabupaten Bantul yang porak-poranda.
Presiden Yudhoyono datang meninjau sehari setelah kejadian. Pemprov DIY menetapkan masa gawat darurat selama 5 sampai 7 hari untuk mencari korban yang masih hilang. Meski tidak dinaikkan sebagai bencana nasional, Badan Penanggulangan Bencana Daerah Yogyakarta mencatat 6.652 orang meninggal dunia akibat gempa ini.
Lombok juga tidak lepas dari bencana besar. Pada 29 Juli 2018, gempa 6,4 SR mengguncang wilayah utara, dengan pusat gempa berada di kedalaman 13 km dan hanya 47 km dari Kota Mataram. Beberapa hari kemudian, 5 Agustus 2018, gempa lebih besar berkekuatan 7,0 SR menghantam Lombok Utara. Lalu pada 19 Agustus 2018, gempa magnitudo 6,9 kembali mengguncang.
BACA JUGA:Aceh Menangis: Korban Jiwa Tembus 156 Orang, Ratusan Ribu Warga Terisolasi di Tengah Kepungan Banjir
Saat bencana ini berlangsung, Indonesia sedang jadi tuan rumah Asian Games 2018 di Jakarta. Jadi meski lebih dari 500 orang meninggal, suasana Asian Games tetap dibawa sampai ke Lombok. Dalam catatan Harian Kompas, Presiden ke-7 Joko Widodo bahkan menonton penutupan Asian Games 2018 bersama para pengungsi gempa di Lombok pada Minggu 2 September 2018 sembari meninjau kondisi warga.
Meski skalanya besar, gempa Lombok ini juga tidak ditetapkan sebagai bencana nasional. Saat itu Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menjelaskan bahwa pemerintah daerah masih berfungsi normal. Karena pemda masih hidup dan mampu menjalankan tugas, pemerintah pusat tidak perlu mengambil alih lewat status bencana nasional. Namun pemerintah pusat tetap mendampingi dan memperkuat pemerintah daerah sepanjang masa penanganan berlangsung.
Beberapa bulan kemudian, 28 September 2018, gempa, tsunami, dan likuifaksi mengguncang Palu dan Donggala di Sulawesi Tengah. Bencana ini menelan setidaknya 4.340 korban jiwa dan merusak puluhan ribu rumah. Meski dahsyat, bencana ini pun tidak dinyatakan sebagai bencana nasional. ”Enggak perlu saya kira, penanganannya sudah lebih dari bencana nasional,” ujar Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan kepada wartawan di Kemenko Maritim pada Senin 1 Oktober 2018 lalu.
Bencana besar terbesar yang menimpa Indonesia pada periode kedua Presiden Jokowi adalah pandemi Covid-19. Pada awal Maret 2020, Jokowi didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengumumkan dua pasien pertama yang positif SARS-CoV-2.
BACA JUGA:Monas Bersiap Padat, Reuni 212 Buka dengan Salat Gaib untuk Korban Banjir
Sekitar satu setengah bulan kemudian, Jokowi menetapkan Covid-19 sebagai bencana non-alam nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020.
Dengan keputusan itu, pandemi tidak hanya ditangani oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang dipimpin kepala daerah di wilayah masing-masing. Pemerintah pusat juga mendapat kewenangan lebih luas untuk menggunakan anggaran darurat dari APBN. Penanganan terintegrasi dari pusat hingga daerah menjadi lebih terkoordinasi dan kuat.
Segala pengalaman menghadapi bencana yang bertubi-tubi mestinya bisa jadi guru besar buat Indonesia. Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Herman N Suparman menilai perubahan pola penanganan bencana pascareformasi melahirkan tantangan baru bagi daerah.
Kewenangan tanggap darurat memang diserahkan kepada pemerintah daerah, tetapi kemampuan fiskal dan teknis mereka sangat terbatas. Karena itu, kata Herman, pemerintah pusat tetap harus muncul sebagai komando saat bencana sudah melewati batas kemampuan pemda.
”Dari sisi tata kelola, kita bisa katakan daerah memang tidak siap. Kondisi ini menyebabkan pemerintah daerah cepat kewalahan ketika bencana berskala besar,” tuturnya.
BACA JUGA:Ridwan Kamil Usai Diperiksa KPK: Saya Nggak Tahu Soal Korupsi BJB, Apalagi Ikut Nikmatin
Ia mencontohkan tsunami Aceh 2004 yang membuat struktur pemerintah daerah lumpuh sehingga evakuasi hanya bisa digerakkan lewat otoritas nasional. Apalagi saat itu Aceh masih berada dalam situasi konflik bersenjata.
Hal yang sama terjadi pada pandemi Covid-19 yang menuntut satu komando agar kebijakan kesehatan dan logistik berjalan selaras di seluruh Indonesia. Skala krisis yang luas membuat penanganannya harus dinaikkan ke tingkat nasional.
Herman juga mengingatkan bahwa salah satu sumber kerusakan yang menjadi pemicu bencana, seperti deforestasi dan aktivitas ekstraktif besar-besaran, berada dalam kewenangan pemerintah pusat. Maka menjadi tidak adil jika seluruh beban penanganan justru dijatuhkan ke daerah.
”Bila ditarik ke hulunya, penyebab bencana lebih banyak berada pada kewenangan pemerintah pusat, yakni soal pertambangan dan kehutanan,” ujar Herman.
Ia melihat ada ketidakseragaman dalam pola intervensi pusat. Pada masa pandemi Covid-19, pemerintah bergerak cepat mengambil alih koordinasi nasional. Namun dalam bencana alam satu dua tahun terakhir, tanggung jawab lebih banyak dilepas kepada daerah.
Padahal, kata Herman, sentralisasi fiskal dan sentralisasi tanggung jawab kebencanaan seharusnya berjalan bersama. Pemerintah pusat kini memegang kendali besar atas keuangan negara. Sebaliknya, pemotongan anggaran membuat kemampuan fiskal daerah terbatas. Tetapi ketika bencana besar terjadi, beban penanganan malah tetap dijatuhkan kepada daerah yang kapasitasnya pas-pasan.