POSTINGNEWS.ID — Putusan Mahkamah Konstitusi terkait Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 kembali membuka sorotan tajam atas tata kelola kepolisian.
Pengamat kepolisian dari ISESS, Bambang Rukminto, menilai amar putusan tersebut menjadi penegasan bahwa pemerintah selama satu dekade telah mengabaikan aturan yang seharusnya ditegakkan tanpa pengecualian.
Bambang menyebut pelanggaran terhadap Pasal 28 ayat 3 sudah berlangsung lama sejak Presiden Joko Widodo pertama kali menjabat.
BACA JUGA:Jadi Rebutan PKB–Golkar–PAN, Ahmad Ali Bilang Lebih Sreg di Sisi Jokowi Bareng PSI
Ia menilai kondisi itu membuat Polri bergerak di luar struktur yang ditetapkan undang-undang.
Menurutnya, masalah tersebut bukan sekadar kelemahan administratif, melainkan bentuk pembiaran yang berlangsung bertahun-tahun.
Dalam keterangannya, Bambang mengingatkan bahwa aturan mengenai posisi Polri sudah sangat jelas.
BACA JUGA:Ramai Tolak Soeharto Jadi Pahlawan, Bahlil: Sana Salat Dulu Kalau Masih Kesel
Namun, ia menyayangkan pemerintah dan DPR yang dinilai membiarkan penyimpangan terjadi.
“UU-nya sudah clear. Hanya saja dalam 10 tahun terakhir ini ada pelanggaran UU, terutama Pasal 28 ayat 3, yang dilakukan oleh Presiden sejak 2014 dengan menarik-narik Polri ke luar struktur. Ironisnya, DPR juga abai dan melakukan pembiaran pada pelanggaran tersebut,” ujarnya.
Ia menilai bahwa putusan MK yang bersifat final dan mengikat tersebut menempatkan kembali Polri ke jalur awal sesuai mandat reformasi kepolisian.
BACA JUGA:Saraswati Sempat Mau Mundur, Eh Sekarang Sudah Nongol Diam-diam di DPR
Posisi Polri, menurut Bambang, semestinya tidak dipakai sebagai instrumen jabatan sipil yang selama ini kerap distempel lewat penugasan Kapolri. Putusan MK disebutnya telah memutus praktik tersebut.
Bambang kemudian menekankan bahwa pengembalian mandat Polri oleh MK sejalan dengan prioritas Presiden Prabowo Subianto yang ingin mempercepat reformasi internal kepolisian.
Ia menilai keputusan MK tersebut harus menjadi pijakan kuat bagi pemerintah untuk bergerak cepat memperbaiki struktur dan tata kelola internal yang selama ini dianggap bias.
BACA JUGA:Purbaya vs Mangkubumi, Suksesi Keraton Solo Mirip Episode Baru Game of Thrones
Ia juga mengingatkan Komite Reformasi Polri agar tidak hanya sibuk dengan rapat atau kajian teknis tanpa langkah konkret.
“Bahkan bisa menjadi tamparan bagi Komite Reformasi bila masih sibuk dengan rapat-rapat dan jajak pendapat saja tanpa langkah-langkah yang konkret dan terlihat oleh masyarakat,” tegas Bambang.
Menurutnya, momen ini harus dimanfaatkan dengan serius. Pemerintah dan Komite Reformasi Polri disebut perlu segera menetapkan rekomendasi berbasis kebutuhan publik agar perbaikan tidak berhenti hanya di meja perumusan kebijakan.
BACA JUGA:Ramai-Ramai Tolak Soeharto Jadi Pahlawan, Bahlil Bilang yang Sempurna Cuma Tuhan
Ia menyebut publik sudah menunggu perubahan nyata di tubuh Polri, khususnya mengenai independensi lembaga.
Putusan MK yang dibacakan pada Kamis (13/11/2024) sendiri mengabulkan seluruh permohonan uji materi atas UU Polri, dan secara tegas menyatakan polisi aktif tidak dapat lagi menduduki jabatan sipil sebelum mengundurkan diri atau pensiun.
Ketentuan ini menghapus celah yang selama ini kerap dimanfaatkan dalam penempatan jabatan.
Dalam amar putusannya, MK menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945. Frasa itu juga disebut menimbulkan multitafsir yang berpotensi melemahkan kepastian hukum.
MK kemudian menyatakan frasa tersebut tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dengan putusan tersebut, struktur hukum Polri kembali ditegakkan secara penuh. Publik kini menunggu apakah pemerintah benar-benar konsisten menjalankan mandat MK.
Bagi Bambang, koreksi MK itu bukan sekadar putusan hukum, melainkan momentum untuk menata ulang hubungan pemerintah dengan institusi Polri agar kembali berada di jalur reformasi.*