JAKARTA, PostingNews.id — Krisis ekologis global yang selama ini kita kenal sebagai urusan iklim, air bersih, lautan, keanekaragaman hayati, sampai siklus biogeokimia, ternyata punya satu biang keladi yang diam-diam menyatukan semuanya. Bukan raksasa industri, bukan pula negara adidaya tertentu, melainkan sesuatu yang lebih dekat dan kadang kita banggakan. Urbanisasi.
Pertumbuhan kota yang makin gila-gilaan menciptakan perubahan lingkungan yang skalanya tidak pernah terpikir sebelumnya. Kota tumbuh, gedung menjulang, penduduk menumpuk, dan tekanan terhadap sumber daya alam ikut melonjak.
Data dari berbagai lembaga internasional termasuk IPCC menunjukkan bahwa kawasan perkotaan kini adalah panggung utama krisis ekologis. Kota bukan lagi cuma tempat orang tinggal dan bekerja. Kota adalah mesin besar yang menghabiskan energi, memproduksi emisi, dan membentuk hampir semua tekanan lingkungan hari ini.
Pada 2020, kawasan perkotaan secara kolektif menghasilkan sekitar tiga perempat emisi setara karbon dioksida. Angka ini mengingatkan bahwa kalau dunia mau serius menahan laju krisis iklim, maka denyut kota tidak boleh lagi dianggap urusan domestik masing-masing negara. Dan situasinya bakal lebih pelik karena menurut perkiraan University of Oxford, luas lahan perkotaan bakal melonjak sampai tiga kali lipat antara 2015 sampai 2050.
BACA JUGA:BGN Pusing Cari Ahli Gizi untuk Dapur MBG, Padahal Dulu Mereka yang Pusing Cari Kerja
Dengan skala pertumbuhan seperti itu, masyarakat internasional dipaksa bertanya bagaimana caranya mengatasi masalah yang begitu besar, tersebar, dan berjalan tanpa henti. Apa langkah mendasar agar pengetahuan ilmiah bisa benar-benar menuntun kebijakan, bukan sekadar menjadi dekorasi konferensi?
Di tengah kegaduhan ini, peneliti dari proyek kolaborasi internasional Peak Urban mengajukan usulan konkret. Mereka mendorong pembentukan Urban Science Advisory System, sebuah lembaga penasihat sains urban yang bekerja berdampingan dengan Majelis Umum PBB. Bedanya dengan IPCC, badan ini diharapkan ramping dan lincah, bukan struktur raksasa yang harus memindahkan gunung dulu baru bisa rapat.
Usulan ini muncul karena cara kita membangun kota hari ini masih mewarisi pola abad sebelumnya. Pola yang rakus energi, doyan material, dan percaya bahwa planet ini punya cadangan pasir, logam, dan kayu tanpa batas. Padahal, ketika kota berkembang, permintaan bahan mentah meningkat dan ekosistem global ikut tergerus.
Hilangnya habitat, anjloknya populasi satwa liar, fragmentasi hutan dan lahan, sampai naiknya risiko kebakaran dan penyakit adalah konsekuensi yang tidak bisa dipisahkan dari pelebaran kota. Bahkan teknologi yang seharusnya ramah lingkungan seperti lampu LED bisa menciptakan polusi cahaya yang mengganggu hewan malam. Jadi solusi pun kadang menciptakan masalah baru jika tidak dipikirkan matang-matang.
BACA JUGA:Luka yang Dipenjara Maskulinitas, Saat Laki-Laki Tak Berani Mengaku Jadi Korban Kekerasan Seksual
Di belahan Global South, fenomenanya tambah kompleks. Migran iklim banyak bergerak dari desa ke kota besar, bukan ke luar negeri, sehingga tekanan terhadap infrastruktur dan sumber daya perkotaan meningkat berlipat-lipat.
Agar badan penasihat sains urban ini tidak tumbuh menjadi monster birokrasi baru, para peneliti menyarankan meniru struktur Committee for Development Policy, lembaga kecil berisi 24 orang yang sudah memberi nasihat berharga kepada Dewan Ekonomi dan Sosial PBB sejak 1965. Dengan komposisi ringkas itu, ide-ide ilmiah dapat mengalir cepat ke ruang keputusan politik.
Usulan pembentukan badan ini sebenarnya ingin menegaskan bahwa tantangan urban tidak boleh terus menjadi anak tiri dalam diskusi perubahan iklim. IPCC memang sedang menyiapkan laporan khusus soal kota pada 2024, tetapi para ilmuwan berpendapat itu belum cukup.
Krisis peradaban abad ke-21 membutuhkan integrasi penuh antara sains iklim dan keahlian urban. Kalau tidak, dunia hanya akan punya tumpukan data tanpa perubahan nyata, sementara kota terus membesar dan planet makin kewalahan menampung ambisinya.