PDIP: Pemerintah Tuli karena Abaikan Penolakan Gelar Pahlawan untuk Soeharto

Selasa 11-11-2025,11:58 WIB
Reporter : Andika Prasetya
Editor : Andika Prasetya

JAKARTA, PostingNews.id — Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Andreas Hugo Pareira, menyoroti keputusan pemerintah yang menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada mantan presiden Soeharto. Menurutnya, langkah tersebut tidak pantas mengingat rekam jejak Soeharto selama berkuasa. Ia menyayangkan pemerintah yang dinilai menutup telinga terhadap kritik dan penolakan dari masyarakat sipil yang menentang rencana itu.

Padahal, Andreas menegaskan, banyak rakyat Indonesia yang menyuarakan keberatan atas pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto. “Tapi pemerintah seperti tuli dan mengabaikan,” kata Wakil Ketua Komisi XIII DPR itu dalam keterangannya pada Selasa, 11 November 2025.

Andreas berpendapat bahwa proses penetapan gelar pahlawan seharusnya tidak dilakukan secara sepihak oleh pemerintah. Ia menilai penting melibatkan partisipasi masyarakat sipil, akademisi, dan sejarawan dalam proses seleksi agar keputusan tersebut memiliki legitimasi sosial yang kuat. “Setiap nama yang diangkat harus melalui verifikasi dokumenter, telaah akademik, serta uji publik agar penghargaan ini benar-benar mencerminkan kehendak kolektif bangsa,” ujarnya.

Ia memperingatkan bahwa jika proses seleksi itu diabaikan, maka penganugerahan gelar pahlawan nasional hanya akan menjadi keputusan elitis dan simbolik semata. “Jangan sampai pemberian gelar pahlawan nasional hanya demi kepentingan politik atau kelompok tertentu karena akan menciderai rasa keadilan bagi rakyat,” katanya.

BACA JUGA:Riset DEEP: Sentimen Positif Soeharto Didominasi Narasi NU dan Muhammadiyah

Andreas menilai, di era modern seperti sekarang, sosok pahlawan nasional seharusnya merepresentasikan perlawanan terhadap berbagai tantangan bangsa seperti kemiskinan, korupsi, dan ketimpangan sosial. Ia mempertanyakan apakah nilai-nilai tersebut benar tercermin dalam kepemimpinan Soeharto. “Jadi pahlawan nasional bukan hanya soal masa perjuangan kemerdekaan, tapi juga simbol moral bangsa,” ucapnya.

Soeharto resmi dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh Presiden Prabowo Subianto pada Senin, 10 November 2025. Keputusan ini tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional. Selain Soeharto, sembilan tokoh lain juga mendapat gelar yang sama, di antaranya Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Sarwo Edhie Wibowo, Marsinah, Mochtar Kusumaatmadja, Rahmah El Yunusiyyah, Muhammad Kholil, Muhammad Salahuddin, Tuan Rondahaim Saragih, dan Zainal Abidin Syah.

Namun, keputusan ini memicu gelombang kritik dari publik. Salah satu pihak yang menolak adalah Amnesty International Indonesia, yang mendesak pemerintah agar membatalkan pemberian gelar tersebut. Direktur Eksekutif Amnesty Indonesia, Usman Hamid, menegaskan bahwa Soeharto adalah tokoh yang paling berperan dalam kekerasan negara pada masa Orde Baru. Rezim yang dipimpinnya memiliki andil dalam berbagai kasus pelanggaran kemanusiaan, termasuk pembantaian massal 1965–1966 dan penembakan misterius 1982–1985.

Usman menilai pemerintah telah mengabaikan fakta sejarah tersebut. “Hingga saat ini, tak satu pun pelaku utama, termasuk Soeharto, pernah dimintai pertanggungjawaban,” tuturnya dalam keterangan tertulis pada Senin, 10 November 2025.

BACA JUGA:Pigai Abadikan Nama Gus Dur dan Marsinah di Kemenham, Simbol Perlawanan dan Keadilan Sosial

Ia menekankan bahwa negara seharusnya berfokus pada penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di era Orde Baru, bukan malah memuliakan pelaku. “Tolak segala bentuk manipulasi sejarah dan glorifikasi pelaku pelanggaran HAM, baik melalui kebijakan kebudayaan, pendidikan, maupun narasi resmi negara,” kata Usman.

Kategori :