JAKARTA, PostingNews.id — Survei terbaru dari Lembaga Indikator Politik Indonesia memberikan gambaran menarik soal nasib program makan bergizi gratis (MBG) yang dijalankan pemerintahan Prabowo–Gibran. Meski sempat menjadi program unggulan, sebagian masyarakat kini mulai mempertanyakan efektivitas dan keamanan pelaksanaannya.
Dari hasil survei yang dilakukan pada 20 hingga 27 Oktober 2025, sebanyak 34,1 persen responden menyatakan program MBG sebaiknya dihentikan, sementara 61 persen meminta program itu dilanjutkan. Sisanya, 4,9 persen memilih tidak menjawab. “Dan 4,9 persen tidak menjawab,” ujar Founder dan Peneliti Utama Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, dalam rilis hasil survei yang diakses pada Ahad, 9 November 2025.
Survei tersebut dilakukan dengan metode multistage random sampling terhadap 1.220 responden dari berbagai provinsi di Indonesia, dengan margin of error sekitar ±2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Dari kelompok yang menolak program MBG, alasan terbanyak adalah meningkatnya kasus keracunan makanan yang mencapai 33,4 persen. Sebagian lain menilai anggaran sebaiknya dialihkan ke program lain (9,7 persen), atau lebih baik diberikan langsung dalam bentuk uang (9,2 persen).
BACA JUGA:Riset Baru Buka Kedok Kalkulator Karbon, Emisi Penerbangan Bisa 5 Kali Lebih Tinggi
Namun, di sisi lain, dukungan terhadap program MBG juga masih kuat. Responden yang ingin program ini dilanjutkan menyebut alasan seperti mampu meringankan beban ekonomi orang tua (13,3 persen), program dinilai berjalan baik secara umum (13 persen), serta membantu anak-anak memperoleh asupan gizi yang lebih baik (11,3 persen).
Di luar program MBG, survei juga menyoroti tingkat kepuasan terhadap dua program prioritas lain pemerintahan Prabowo, yakni Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda. Hasilnya, 75,5 persen masyarakat mengaku puas atau sangat puas terhadap Sekolah Rakyat, sedangkan 14,8 persen menyatakan kurang puas atau tidak puas, dan 9,7 persen tidak memberikan jawaban. Untuk Sekolah Garuda, 70,5 persen masyarakat puas atau sangat puas, sementara 11,7 persen kurang puas, dan 17,8 persen tidak menjawab.
Meski secara umum tingkat penerimaan terhadap MBG masih positif, data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menunjukkan adanya tren peningkatan kasus keracunan. “Jumlah korban per 19 Oktober 2025 mencapai 13.168 anak,” kata Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji dalam keterangan tertulis yang dirilis pada 19 Oktober 2025.
Menurut Ubaid, kasus terbanyak terjadi di Jawa Barat dengan 549 korban, disusul Daerah Istimewa Yogyakarta dengan 491 korban, Jawa Tengah dengan 270 korban, serta Sumatera Utara dan Nusa Tenggara Barat masing-masing dengan 99 dan 84 korban.
BACA JUGA:Gen Z di Persimpangan Moral: Pintar, Melek Digital, tapi Tergoda Judol
Namun, Presiden Prabowo Subianto punya pandangan berbeda soal maraknya kasus tersebut. Ia menilai angka keracunan masih tergolong wajar mengingat skala besar program MBG. “Kalau diambil data statistik, 8.000 dari 1,4 miliar (porsi) masih dalam koridor eror yang manusiawi,” ujarnya dalam sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, 20 Oktober 2025.
Prabowo menyebut bahwa jika dihitung secara persentase, angka keracunan hanya sekitar 0,0007 persen dari total porsi yang dibagikan. “Hampir tidak ada usaha manusia yang dilaksanakan selama satu tahun dengan volume yang demikian besar yang zero error, zero deffect. Sangat sulit,” kata dia.
Temuan survei ini memperlihatkan betapa tajamnya pembelahan pandangan publik terhadap salah satu program populis pemerintahan Prabowo. Di satu sisi, masyarakat merasakan manfaat ekonomi dan sosialnya. Namun di sisi lain, kekhawatiran akan keamanan dan efektivitas program membuat sebagian publik mulai ragu apakah program ini masih layak diteruskan tanpa perbaikan mendasar.