Soeharto Dianggap Pahlawan, PSI: Kita Harus Berdamai dengan Sejarah

Jumat 31-10-2025,09:00 WIB
Reporter : Andika Prasetya
Editor : Andika Prasetya

JAKARTA, PostingNews.id – Politikus Partai Solidaritas Indonesia, Bestari Barus, tampaknya sedang ingin jadi juru damai antara masa lalu dan masa kini. Di tengah panasnya perdebatan soal rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, ia menyerukan agar bangsa Indonesia menilai sang mantan presiden “secara utuh”. Versinya adalah bukan hanya melihat sisi gelap Orde Baru, tapi juga capaian ekonominya yang, menurutnya, monumental.

Soeharto adalah bagian dari sejarah bangsa yang tidak bisa dihapus. Ia membawa Indonesia menuju stabilitas ekonomi, swasembada pangan, dan pembangunan infrastruktur besar-besaran. “Itu fakta sejarah yang tidak bisa disangkal,” ujar Bestari dalam keterangannya pada Kamis, 30 Oktober 2025.

Bestari dengan lantang menyebut Soeharto layak disebut pahlawan nasional, meski tak semua orang sepakat. Ia menyoroti politisi PDI-P yang menolak keras usulan tersebut. Katanya, menilai Soeharto dari satu sisi saja terlalu sempit dan emosional.

“Pernyataan sikap satu atau dua orang dari PDI-P tentu tidak akan mempengaruhi keputusan pemerintah. Saya yakin pemerintah memiliki mekanisme dan pendalaman yang komprehensif. Tim penilai gelar pahlawan sudah meneliti dengan matang, dan siapapun yang akan ditetapkan nantinya pasti telah memenuhi kriteria,” ucapnya dengan percaya diri.

BACA JUGA:Nama Soeharto Sudah Masuk Istana, Gelar Pahlawan Tinggal Tunggu Tanda Tangan

Nada bicara Bestari semakin menggoda ketika ia menyindir pihak-pihak yang masih belum “move on” dari trauma politik masa lalu. “Kalimat seperti ‘apa hebatnya Soeharto?’ itu sangat tidak bijak. Justru kami melihat Soeharto sebagai sosok yang hebat karena berhasil menumpas gerakan 30 September yang menelan banyak korban jiwa dan mengancam keutuhan bangsa. Tanpa langkah tegas itu, mungkin arah sejarah Indonesia akan berbeda,” katanya.

Ia melanjutkan, “Kalau PDI-P masih menilai Soeharto dari luka politik 1965 dan Orde Baru, berarti mereka belum siap berdamai dengan sejarah. Reformasi sudah dua dekade lebih berjalan, saatnya kita melihat sejarah dengan kepala dingin.”

Di sisi lain, suara penolakan tetap bergema dari kubu banteng. Kepala Badan Sejarah DPP PDI-P, Bonnie Triyana, berpendapat gelar pahlawan untuk Soeharto sama saja mengaburkan ukuran moral bangsa. “Menurut hemat saya, ya kita harus tolak, saya sendiri menolak,” ujar Bonnie tegas, dikutip dari Kompas.id.

Bonnie beralasan, publik selama ini mendambakan pemimpin yang demokratis, menghargai hak asasi manusia, dan bebas dari korupsi. Memberi gelar pahlawan kepada sosok yang berkuasa selama 30 tahun, menurutnya, justru berisiko membuat generasi muda kehilangan arah moral. 
BACA JUGA:Skandal Kereta Cepat Memanas, Pengamat Sentil Nama Luhut hingga Rini Soemarno

“Kita selalu ingin ada satu standar tentang bagaimana sih menjadi pemimpin publik yang demokratis, yang menghargai manusia, sehingga ketika seorang menjadi pemimpin publik, ya tidak ada pelanggaran HAM, tidak ada korupsi, itu sudah clear. Kalau tokoh yang berkuasa selama 30 tahun dijadikan pahlawan, anak muda akan kehilangan ukuran. Mereka bisa berpikir, ‘Oh, yang seperti ini pun bisa jadi pahlawan’,” kata Bonnie.

Jadi, sementara sebagian orang ingin “berdamai dengan sejarah”, sebagian lain justru takut sejarahnya dipoles ulang jadi lebih ramah di mata penguasa. Dalam drama politik memori bangsa, tampaknya Soeharto tetap hidup, bukan sebagai tokoh sejarah semata, tapi sebagai cermin retak yang memantulkan wajah berbeda tergantung siapa yang menatapnya.

Kategori :