Cendekiawan NU: Pesantren dalam Jerat Panoptikon Digital

Selasa 21-10-2025,05:00 WIB
Reporter : Reynaldi
Editor : Reynaldi

Pengawasan saat ini berlandaskan pada eksposur visual dan reaksi publik. Dengan kata lain, pengawasan di era panoptikon digital bukan lagi bertujuan mendidik, tetapi menilai. Ia melahirkan mekanisme moral baru yang lebih bersifat estetis daripada etis: yang dilihat bukan ketaatan, tetapi citra ketaatan.

BACA JUGA:Prabowo Geram ke Penegak Hukum: Jangan Galak ke yang Lemah, Jinak ke yang Kaya

Di sisi lain, pernyataan Ulil bahwa “pengawasan kini terjadi atas dasar persetujuan kita sendiri” menandai perubahan paradigma kekuasaan modern. Di sinilah relevansi pemikiran Foucault paling jelas: kekuasaan modern bekerja bukan melalui pemaksaan eksternal, melainkan melalui internalisasi norma-norma yang membuat individu secara sukarela menyesuaikan diri dengan sistem. 

Dalam konteks pesantren, santri yang dulu dilatih menundukkan diri kepada disiplin spiritual kini menghadapi disiplin baru, yaitu disiplin algoritmik. Mereka belajar menyesuaikan perilaku agar selaras dengan ekspektasi publik digital. Antropologi kontemporer menyebut fenomena ini sebagai 'self-curation', suatu proses seleksi diri agar tampak sesuai dengan norma publik yang tak kasatmata. 

Maka, panoptikon digital bukan lagi menindas, tetapi merayu; bukan memaksa, tetapi mengajak; bukan mengurung, tetapi mengundang. Dan di sinilah bahaya terbesarnya: subjek yang merasa bebas padahal justru sedang tunduk pada logika pengawasan yang lebih halus.

BACA JUGA:Prabowo Semprot Jaksa dan Polisi: Jangan Cari-cari Kasus, Apalagi ke Orang Kecil

Ulil dengan tajam menyinggung bahwa pesantren dulu merupakan “subkultur” tertutup yang relatif terlindung dari tatapan publik. Dalam perspektif antropologi struktural, penutupan ruang sosial ini bukan semata-mata bentuk isolasi, tetapi mekanisme pemeliharaan kesakralan. Victor Turner menyebut pesantren sebagai 'liminal space', ruang peralihan tempat individu melepaskan identitas profan dan membentuk identitas spiritual. Ruang ini hanya mungkin berfungsi bila ada batas simbolik antara yang sakral dan yang profan. 

Ketika media sosial menembus batas ini, fungsi liminal pesantren terganggu. Ritual-ritual yang dulu bermakna spiritual kini berisiko direduksi menjadi tontonan publik. Dari sudut pandang eksistensialisme filosofis, kondisi ini menciptakan disonansi antara 'being' (menjadi) dan 'appearing' (menampakkan diri). Pesantren yang semula menjadi ruang 'becoming' kini terancam menjadi panggung 'performing'.

Transformasi ini mengingatkan kita pada analisis Hannah Arendt dalam 'The Human Condition', bahwa hilangnya batas antara ruang privat dan publik menyebabkan lenyapnya “ruang tindakan” yang otentik. Dalam dunia digital, setiap tindakan publik adalah representasi, bukan kehadiran. 

Dalam konteks pesantren, tindakan religius yang semula bersifat batiniah kini terekspos sebagai penampilan luar. Maka saya sepakat bahwa “the private is public”. Namun, Ulil belum mengulas sisi paling radikal dari hal ini, bahwa keterbukaan total justru menciptakan paradoks baru: terbuka sekaligus menutup. 

Dalam banjir informasi dan pengawasan tanpa henti, muncul kejenuhan kognitif dan moral. Publik yang “melihat segalanya” justru kehilangan kemampuan membedakan mana yang bermakna dan mana yang sekadar viral. Ini adalah bentuk baru kebutaan epistemik: 'the blindness of transparency'.

Ulil memandang situasi panoptikon ini secara optimistik sebagai peluang bagi pesantren untuk berbenah. Pandangan ini patut diapresiasi, namun perlu dikritisi. Optimisme semacam ini berpotensi jatuh pada apa yang disebut Herbert Marcuse sebagai “represi halus”, keyakinan bahwa keterbukaan otomatis melahirkan kemajuan. Padahal, keterbukaan tanpa kerangka epistemik yang jelas bisa menimbulkan disorientasi moral. 

Kritik publik yang datang dari luar pesantren tidak selalu berlandaskan pengetahuan yang memadai tentang dunia internal pesantren. Dalam antropologi moral, ini disebut 'value dissonance', ketika sistem nilai luar menilai praktik dalam dengan standar moral yang tak kompatibel. Dalam konteks ini, pesantren memang harus mendengar kritik publik, tetapi juga harus memiliki kemampuan hermeneutis untuk menafsir dan memilahnya.

Peringatan Ulil agar pesantren tidak tunduk pada opini publik merupakan poin yang sangat penting secara epistemologis. Dalam masyarakat digital, opini sering kali tampil dengan kekuatan emosional yang melebihi argumentasi rasional. Kant suatu hari mengingatkan bahwa otonomi moral berarti ketaatan terhadap hukum yang ditentukan oleh rasio moral sendiri, bukan oleh tekanan eksternal. 

Pesantren, dengan tradisi epistemiknya yang berakar pada adab dan akhlak, justru memiliki keunggulan epistemik untuk menilai kebenaran moral bukan berdasarkan popularitas, melainkan kebijaksanaan. Namun, untuk mempertahankan otonomi ini, pesantren perlu membangun kemampuan membaca, memilah, dan merespons opini publik tanpa kehilangan ketenangan dan orientasi moral.

Perdebatan yang dibuka Ulil mengenai tradisi mencium tangan kiai merupakan studi kasus antropologis yang menarik tentang konflik nilai. Praktik tersebut, dalam kacamata simbolik pesantren, adalah ekspresi penghormatan terhadap ilmu dan adab. Dalam kacamata luar, ia tampak sebagai simbol feodalisme atau subordinasi. 

Kategori :