Donasi Rp1.000 per Hari ala Dedi Mulyadi, Ringan di Lidah Pejabat, Berat di Kantong Rakyat

Selasa 07-10-2025,21:43 WIB
Reporter : Andika Prasetya
Editor : Andika Prasetya

JAKARTA, PostingNews.id – Pendiri Nalar Institute, Yanuar Nugroho, ikut menyoroti kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang meminta warga ikut berdonasi Rp 1.000 per hari lewat program Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu. Menurutnya, ajakan yang terdengar ringan di telinga pejabat itu justru bisa jadi beban baru bagi warga kecil yang sedang berjibaku dengan ekonomi yang makin seret.

“Donasi harian ini kurang sensitif terhadap kondisi ekonomi masyarakat bawah,” kata Yanuar kepada wartawan, Selasa 7 Oktober 2025. Ia menilai, meski cuma seribu rupiah, keputusan itu tetap memberatkan kelompok masyarakat miskin dan buruh harian.

Apalagi di tengah inflasi dan daya beli yang terus menurun. “Ini berisiko menambah tekanan psikologis bagi masyarakat yang justru paling rentan,” ujarnya.

Lebih jauh, Yanuar mempertanyakan tanggung jawab pemerintah dalam kebijakan itu. Menurutnya, pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan adalah mandat negara, bukan tanggung jawab yang dilempar balik ke warga. “Bila negara justru mendorong masyarakat membiayai sesamanya, itu menandakan bergesernya beban fiskal ke tangan publik tanpa mandat yang sah,” kata dia.

BACA JUGA:Emak-emak Relawan Jokowi Ancam Demo Pakai BH, Roy Suryo Bilang: Jogetin Saja

Ia juga mengingatkan, meski Dedi menyebut ajakan berdonasi itu bersifat sukarela, dalam kultur birokrasi Indonesia, kata “sukarela” sering kali berubah jadi “wajib tersirat”. ASN, guru, dan pelajar, menurut Yanuar, bisa saja merasa terpaksa ikut karena takut dianggap tidak loyal. “Prinsip sukarela hanya bermakna bila disertai jaminan tegas bahwa tidak ada konsekuensi bagi yang tak ikut berpartisipasi,” ujarnya.

Masalah lain yang diangkat Yanuar adalah soal transparansi. Ia menegaskan, setiap pengumpulan dana publik wajib punya mekanisme pelaporan dan audit yang jelas. Tanpa itu, katanya, inisiatif donasi seperti ini mudah disalahartikan sebagai pungutan terselubung. “Bila tidak, inisiatif donasi sosial ini mudah disalahartikan sebagai pungutan terselubung,” ucapnya.

Ia juga mengingatkan soal efek domino kebijakan ini. Kalau kebijakan seribu per hari di Jawa Barat dianggap wajar, bukan tidak mungkin daerah lain akan menirunya, lalu menjadikannya seperti “pajak sukarela” yang dibungkus dengan jargon moralitas. “Lalu menjadikannya semacam pajak sukarela yang dikemas dengan bahasa moralitas,” kata Yanuar.

Menurut Yanuar, pemerintah daerah sah-sah saja mendorong solidaritas sosial, tapi tetap harus tahu batas antara gerakan moral dan kebijakan publik resmi. “Pemerintah daerah boleh mendorong solidaritas sosial, tapi tetap harus membedakan antara gerakan moral masyarakat dan kebijakan publik resmi,” ujarnya.

BACA JUGA:Kemnaker Buka 20 Ribu Slot Magang, Batas Waktu Daftar Sampai 12 Oktober

Sebelumnya, Dedi Mulyadi resmi menerbitkan Surat Edaran Nomor 149/PMD.03.04/KESRA tertanggal 1 Oktober 2025 yang mengatur ajakan donasi Rp 1.000 per hari. Kebijakan itu ditujukan bagi ASN, pelajar, dan masyarakat Jawa Barat, dengan alasan gotong royong membantu kebutuhan darurat di bidang pendidikan dan kesehatan.

“Kontribusi sederhana ini menjadi wujud solidaritas demi membantu kebutuhan darurat masyarakat,” kata Dedi, yang menyebut programnya ini sebagai gerakan dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat.

Namun di mata Yanuar, niat baik saja tidak cukup. Kalau tidak hati-hati, kebijakan donasi itu bisa berubah jadi “beban baru berbungkus moralitas”, ringan di lidah pejabat, tapi berat di kantong rakyat.

Kategori :