POSTINGNEWS.ID --- Pulau Dewata yang biasanya identik dengan pantai, budaya, dan pariwisata, pada 9 September lalu justru dilanda bencana banjir besar.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut curah hujan ekstrem lebih dari 300 mm per hari sebagai pemicu utama, dengan catatan fantastis di beberapa wilayah: Jembrana (385,5 mm), Tampak Siring (373,8 mm), Karangasem (316,6 mm), Klungkung (296 mm), hingga Abiansemal (284,6 mm).
Hasilnya? Ribuan rumah warga terendam, infrastruktur rusak, dan aktivitas sehari-hari lumpuh total. BMKG bahkan menegaskan, ini adalah banjir terparah di Bali dalam sepuluh tahun terakhir.
Bukan Hanya Hujan, Lingkungan yang Kian Terdegradasi
Meski hujan ekstrem menjadi faktor utama, kerusakan lingkungan disebut memperparah kondisi. Fokus perhatian tertuju pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Ayung, yang seharusnya berperan besar sebagai penyangga air. Sayangnya, menurut Menteri LHK, tutupan hutan di kawasan DAS hanya tersisa 3 persen dari total 49.500 hektare. Angka ini jauh di bawah batas aman 30 persen.
BACA JUGA:Menteri Karding Akui Kenal Tersangka Pembalak Hutan Aziz Wellang Sejak di Ormas Sulawesi
Penggundulan hutan, alih fungsi lahan, serta hilangnya kawasan resapan air membuat air hujan sulit meresap ke tanah. Akibatnya, debit air meluap dan bencana banjir besar menjadi ancaman nyata bagi masyarakat.
Sampah yang Ikut Jadi Biang Kerok
Selain degradasi hutan, masalah klasik lain ikut memperburuk banjir: sampah. Anggota DPR menyoroti lemahnya tata kelola sampah di Bali. Banyak saluran air tersumbat, membuat aliran banjir makin deras ke permukiman.
Solusinya? Perlu sistem pengelolaan sampah berbasis teknologi ekonomi sirkular agar sampah bisa bernilai dan tidak lagi berakhir di sungai atau drainase. Tak kalah penting, Bali juga butuh sistem peringatan dini bencana yang adaptif terhadap pola cuaca ekstrem.
Banjir Mengancam Ekonomi dan Lingkungan
Dampak banjir ini terasa luas. Selain menenggelamkan ribuan rumah, air yang menggenang membawa polutan, sampah, dan ancaman kesehatan. Ekosistem lahan pun ikut tertekan, sehingga kualitas lingkungan menurun drastis.
Gubernur Bali bersama Menteri LHK menekankan perlunya strategi komprehensif: dari pengawasan hulu sungai, penghijauan, hingga menjaga kawasan pesisir yang jadi benteng terakhir ekosistem.
LindungiHutan dan Harapan dari Teluk Benoa
Di tengah krisis ini, LindungiHutan hadir dengan solusi nyata. Melalui program konservasi di Teluk Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, organisasi ini menginisiasi penanaman mangrove Rhizophora.
Kenapa mangrove? Karena ekosistem ini terbukti mampu:
Menahan laju abrasi pantai,
Menyerap karbon untuk melawan pemanasan global,