Sumatra Makin Kehilangan Alamnya, Kajian IPB Ungkap Biodiversitas Tergerus Paling Dalam

Senin 29-12-2025,09:17 WIB
Reporter : Andika Prasetya
Editor : Andika Prasetya

JAKARTA, PostingNews.id — Pulau Sumatra pelan-pelan seperti kehilangan napasnya. Dalam beberapa tahun terakhir, pulau ini justru mencatat laju kehilangan keanekaragaman hayati paling tinggi dibanding wilayah lain di Indonesia. Temuan itu tidak datang dari cerita lapangan semata, melainkan dari hitung-hitungan ilmiah yang disampaikan Guru Besar Manajemen Lanskap IPB University, Prof Syartinilia.

Berbicara dalam forum LRI TALK ke-3 pada Rabu 24 Desember 2025, Prof Syartinilia mengurai satu per satu hasil analisis yang membuat Sumatra berada di posisi paling rawan.

“Analisis pada skala meso di Pulau Sumatra menggunakan Biodiversity Intactness Index (BII) menunjukkan bahwa, berdasarkan data global periode 2017–2020, Sumatra mencatat tingkat kehilangan biodiversitas tertinggi di Indonesia,” ungkapnya.

Angka-angka itu bukan sekadar statistik. Di baliknya ada pilihan kebijakan, arah pembangunan, dan cara manusia memperlakukan lanskap. Prof Syartinilia menjelaskan, jika arah pembangunan dibiarkan berjalan seperti biasa, kehilangan biodiversitas hingga 2050 diperkirakan menembus sekitar 15 persen. Namun ceritanya bisa berbeda bila pendekatan keberlanjutan benar-benar dijalankan.

BACA JUGA:Dampak Banjir Belum Pulih, Iring-Iringan Truk Kayu Terekam Jalan Tengah Malam di Jalur Medan-Banda Aceh

“Pada skenario bisnis seperti biasa, kehilangan biodiversitas hingga tahun 2050 diperkirakan mencapai sekitar 15 persen, sementara pada skenario keberlanjutan dapat ditekan hingga sekitar 11 persen,” katanya.

Gambaran itu makin terasa ketika kajian diarahkan ke spesies-spesies kunci yang selama ini menjadi ikon Sumatra. Gajah, orang utan, hingga harimau Sumatra menjadi indikator hidup matinya ekosistem. Dalam skenario bisnis seperti biasa, habitat gajah diproyeksikan menyusut drastis hingga 66 persen. Sebaliknya, bila prinsip keberlanjutan diterapkan secara konsisten, justru ada peluang peningkatan habitat sekitar 5 persen.

Dari situ, kesimpulan Prof Syartinilia menjadi terang.

“Pendekatan berkelanjutan terbukti mampu menekan kehilangan habitat secara signifikan.”

Berangkat dari hasil kajian tersebut, ia merekomendasikan serangkaian langkah adaptasi. Mulai dari restorasi yang terfokus, konservasi berbasis masyarakat, pengelolaan lanskap secara terpadu, hingga mitigasi ancaman langsung. Semua itu, menurutnya, perlu ditopang investasi konservasi berskala besar, dengan Sumatra sebagai wilayah prioritas.

BACA JUGA:Bumi Makin Panas, Penyakit dari Hewan ke Manusia Ikut Mengintai

Dalam pemaparannya, Prof Syartinilia tidak hanya berhenti pada Sumatra. Ia mengajak peserta forum melihat gambaran yang lebih luas tentang masa depan ekosistem Indonesia di tengah tekanan manusia dan perubahan iklim. Kajian ini memotret kerentanan ekosistem nasional hingga 2050 dan dimaksudkan sebagai pijakan dalam merumuskan prioritas aksi adaptasi perubahan iklim.

Pendekatan yang digunakan bersifat multiskala. Analisis dilakukan dari tingkat nasional hingga pulau. Pada skala nasional, tim peneliti melakukan overlay antara keterpaparan iklim dan kualitas ekosistem darat yang diukur lewat indeks vegetasi. Dari pertemuan dua variabel tersebut, disusun peta kerentanan lanskap dalam sembilan tingkat.

“Hasilnya menunjukkan bahwa secara nasional Indonesia masih didominasi oleh kerentanan rendah hingga sedang, meskipun terdapat wilayah dengan tingkat kerentanan tinggi,” jelas Prof Syartinilia, yang juga menjabat sebagai Sekretaris Lembaga Riset Internasional Lingkungan dan Perubahan Iklim di IPB University.

Namun ketika peta itu diurai lebih rinci berdasarkan tipe ekosistem, cerita berubah. Ekosistem lahan basah dan ekosistem pegunungan muncul sebagai dua tipe yang paling rentan secara nasional. Secara spasial, Sumatra kembali berada di posisi teratas sebagai wilayah dengan tingkat kerentanan paling tinggi, disusul Papua, Kalimantan, dan Maluku.

Kategori :