Animisme, Totem, hingga Tuhan, Sejarah Panjang Cara Manusia Memeluk Kepercayaan

Selasa 23-12-2025,10:13 WIB
Reporter : Andika Prasetya
Editor : Andika Prasetya

JAKARTA, PostingNews.id— Kepercayaan dan praktik keagamaan manusia tidak lahir dalam satu bentuk jadi. Ia tumbuh perlahan, berubah mengikuti cara manusia membaca alam, hidup berkelompok, dan memahami dirinya sendiri. Dalam lintasan sejarah yang panjang itu, para peneliti sering membaginya ke dalam lima tahap besar. Dimulai dari animisme, lalu totemisme, berlanjut ke pemujaan alam atau naturisme, kemudian politeisme, hingga akhirnya monoteisme. Setiap tahap menandai cara pandang yang berbeda tentang semesta dan posisi manusia di dalamnya.

Tahap paling awal kerap ditandai dengan animisme. Inilah fase ketika manusia mulai menaruh makna pada dunia di sekelilingnya. Kata animisme berasal dari bahasa Latin anima, yang berarti jiwa atau kehidupan. Istilah ini diperkenalkan pada akhir abad ke-19 oleh Edward Burnett Tylor lewat karyanya Primitive Culture pada 1871. Ia menggunakan istilah tersebut untuk menjelaskan bentuk agama paling dasar, yakni kepercayaan akan keberadaan makhluk spiritual. Dalam pandangannya, animisme adalah upaya awal manusia memahami dunia yang belum sepenuhnya bisa dijelaskan oleh akal dan pengalaman.

Sejumlah antropolog kemudian menaruh perhatian pada cara berpikir ini. Animisme dipandang bukan sekadar kepercayaan sederhana, melainkan cermin dari kecenderungan manusia memberi sifat-sifat hidup pada sesuatu yang sebenarnya tak bernyawa. Dari sudut psikologi, hal ini dikenal sebagai antropomorfisme, dorongan alamiah manusia untuk melihat dunia dengan kacamata dirinya sendiri.

Dalam kerangka animisme, alam bukan sekadar latar tempat hidup. Hewan, tumbuhan, batu, sungai, gunung, hingga cuaca dipercaya memiliki esensi spiritual. Alam adalah makhluk hidup yang menyatu dengan keseharian manusia. Keyakinan semacam ini tampak jelas pada banyak masyarakat kuno, termasuk suku San di Afrika Selatan dan masyarakat Aborigin di Australia. Di sana, roh dipercaya bersemayam di alam, dan manusia harus hidup selaras dengannya.

BACA JUGA:FX Rudy Menepi dari Pucuk PDIP Jateng, Konsolidasi Partai Mulai Terasa

Dalam komunitas animistik, peran tokoh spiritual menjadi penting. Dukun atau shaman bertindak sebagai penghubung antara dunia manusia dan dunia roh. Mereka dipercaya mampu menyembuhkan penyakit, membaca tanda, dan menjaga keseimbangan antara komunitas dan alam. Ritual, persembahan, dan upacara dilakukan bukan sekadar formalitas, melainkan sebagai cara bernegosiasi dengan kekuatan yang diyakini hadir di sekitar mereka.

Jejak animisme juga bisa dibaca dari tinggalan purba. Lukisan gua di Lascaux, Prancis, misalnya, kerap ditafsirkan sebagai bukti keyakinan bahwa hewan-hewan yang digambar memiliki kekuatan spiritual. Praktik penguburan dengan bekal tertentu mengisyaratkan kepercayaan akan kehidupan setelah mati atau keberadaan dunia roh. Semua itu menunjukkan bahwa animisme mengakar kuat pada masyarakat pemburu-peramu, yang mendominasi sebagian besar sejarah awal manusia.

Meski sering disebut sebagai kepercayaan purba, animisme tidak sepenuhnya hilang. Banyak masyarakat adat di Amerika, Siberia, dan Australia masih mempraktikkan pandangan hidup animistik. Bahkan dalam agama-agama besar dunia, sisa-sisanya masih terasa. Dalam Hindu, misalnya, sungai, gunung, dan hewan tertentu diperlakukan sebagai entitas sakral. Di masa kini, animisme juga kerap dibaca ulang sebagai pandangan filosofis yang menekankan keterhubungan semua makhluk hidup, terutama dalam wacana lingkungan.

Dari animisme, manusia lalu melangkah ke bentuk yang lebih terstruktur, yakni totemisme. Pada tahap ini, hubungan spiritual dengan alam dipersempit ke simbol tertentu. Setiap kelompok atau klan mengaitkan dirinya dengan hewan atau tumbuhan tertentu yang disebut totem. Totem ini bukan sekadar lambang, melainkan dianggap memiliki hubungan leluhur dan kekuatan spiritual dengan kelompok tersebut.

BACA JUGA:300 Ribu Tahun Bertahan, Lonesome George Menutup Sejarah Kura-Kura Pulau Pinta

Istilah totem berasal dari kata odoodem dalam bahasa Ojibwe yang berarti kelompok kekerabatan. Maknanya menegaskan bahwa totem adalah penanda identitas kolektif. Masyarakat adat Amerika Utara, seperti suku Haida, dikenal dengan tiang totem yang menjulang tinggi. Ukiran-ukiran itu merekam silsilah, status sosial, dan kisah leluhur dalam bentuk simbolik.

Para antropolog awal, seperti James Frazer dan Claude Lévi-Strauss, menjadikan totemisme sebagai pintu masuk untuk memahami struktur sosial masyarakat awal. Meski kemudian dikritik karena terlalu menyederhanakan praktik yang kompleks, kajian mereka membuka pemahaman bahwa simbol memiliki peran penting dalam membangun kohesi sosial.

Dalam sistem totemik, hubungan antara manusia dan totem sering dipahami sebagai ikatan kekerabatan. Totem bisa dianggap sebagai leluhur, penjaga, atau sumber kekuatan suci. Dari sini lahir aturan dan pantangan. Anggota klan bisa dilarang membunuh atau memakan hewan totem mereka. Ritual, tarian, dan nyanyian digelar untuk menghormati atau memanggil kekuatan totem.

Totem juga mengatur tatanan sosial. Ia menentukan struktur kelompok dan bahkan aturan perkawinan, untuk mencegah hubungan di dalam klan yang sama. Dengan begitu, totem menjadi perekat identitas, menghubungkan individu dengan sejarah bersama dan alam di sekitarnya. Praktik serupa tidak hanya ditemukan di Amerika Utara, tetapi juga di Australia, Siberia, dan sejumlah masyarakat Afrika.

BACA JUGA:Usai Banjir, Hutan Terbelah dan Risiko Baru Mengintai Batang Toru Tapsel

Kategori :