JAKARTA, PostingNews.id — Menjelang tutup buku anggaran 2025, gedung parlemen mulai sibuk merapikan catatan. Bukan sekadar menghitung capaian, tapi membaca arah. Di tengah angka penerimaan pajak yang belum sepenuhnya mengejar target, anggota Komisi XI DPR RI Amin Ak mengingatkan bahwa situasi ini patut dibaca sebagai sinyal, bukan semata rapor merah.
Sampai 30 November 2025, realisasi penerimaan pajak tercatat sekitar Rp1.634 triliun atau setara 74,6 persen dari target APBN 2025 sebesar Rp2.189 triliun. Masih ada jarak yang cukup lebar. Namun bagi Amin, jarak itu tidak bisa disederhanakan sebagai persoalan kurang kerasnya penagihan.
“Ini bukan hanya soal mengejar angka di akhir tahun, tapi bagaimana kita memastikan fondasi fiskal tetap sehat ke depan,” kata Amin dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin 22 Desember.
Amin memilih berdiri di posisi yang tenang. Sebagai bagian dari koalisi pemerintahan Prabowo Subianto, ia menempatkan evaluasi akhir tahun ini sebagai bagian dari konsolidasi fiskal, bukan kritik yang menggedor meja. Menurutnya, menjaga kesinambungan APBN di tengah ekonomi global yang bergejolak dan masa transisi pemerintahan membutuhkan kehati-hatian dan pandangan jangka menengah.
BACA JUGA:Datang ke Tapanuli Utara, Gibran Menenangkan Warga dengan Janji
Ia memahami betul bahwa negara membutuhkan penerimaan agar program prioritas tetap berjalan. Namun cara negara mengamankan penerimaan itu, kata dia, sama pentingnya dengan besarnya angka yang dikumpulkan. Pendekatan yang terlalu menekan, terutama secara administratif, justru berisiko memukul likuiditas dunia usaha.
“Kalau arus kas pelaku usaha terganggu, dampaknya bisa merembet ke produksi, investasi, dan penyerapan tenaga kerja. Ini yang harus dihindari,” ujarnya.
Di titik ini, Amin melihat persoalan perpajakan Indonesia bukan sekadar musiman, melainkan struktural. Basis pajak yang belum luas, sistem yang masih perlu efisiensi, serta ketergantungan pada kelompok wajib pajak yang itu-itu saja menjadi pekerjaan rumah yang terus berulang. Karena itu, konsolidasi fiskal menuju 2026, menurutnya, tidak cukup ditempuh dengan jurus jangka pendek.
Pandangan Amin tentang ekonomi 2026 mengarah pada penguatan mesin pajak secara menyeluruh. Ia menilai pembenahan tata kelola PPN, perluasan basis pajak yang berkeadilan, serta kepastian hukum perpajakan sudah tidak bisa ditunda.
BACA JUGA:Jalur Komunikasi Buntu, Dino Patti Djalal Tumpahkan Kritik Keras ke Menlu Sugiono Lewat Instagram
“Kalau basis pajak diperluas dan sistemnya efisien, penerimaan akan tumbuh mengikuti aktivitas ekonomi. Itu jauh lebih sehat dibandingkan menekan sektor yang sudah patuh,” katanya.
Selain soal teknis, Amin menekankan pentingnya transparansi kebijakan fiskal. Dunia usaha dan publik, menurutnya, perlu mengetahui arah konsolidasi fiskal pemerintah agar kepercayaan tetap terjaga. Dalam jangka panjang, kepercayaan inilah yang menjadi fondasi kepatuhan sukarela, bukan semata sanksi.
Dalam catatan akhir tahun yang ia sampaikan, Amin melihat 2026 sebagai tahun penentu. Pemerintahan baru membutuhkan ruang fiskal yang memadai, tetapi juga fondasi ekonomi yang kuat agar tidak rapuh di tengah jalan. Konsolidasi fiskal, kata dia, harus mampu menjembatani dua kepentingan itu.
“APBN bukan hanya instrumen anggaran, tapi juga cermin arah kebijakan ekonomi. Konsolidasi fiskal harus memastikan APBN tetap kredibel, ekonomi tetap tumbuh, dan dunia usaha tetap bergerak,” ujarnya.
BACA JUGA:Kejagung Disentil ICW, Jubir Bilang Nilai Reformasi Tak Bisa Diukur dari Ulah Oknum Jaksa