JAKARTA, PostingNews.id — Bisakah seseorang menyampaikan fakta tetapi tetap keliru saat menarik kesimpulan? Pertanyaan itu muncul setiap kali para akademikus Barat bersikeras bahwa Plato adalah pembela homoseksualitas. Klaim itu berjalan bertahun-tahun, seolah sang filsuf Yunani berdiri di barisan depan dukungan hubungan sesama jenis. Dasarnya hanya beberapa bagian dari buku Symposium, tempat Plato menyebut cinta sesama jenis sebagai bentuk cinta yang paling tinggi.
Memang benar, di Symposium ada kalimat yang berbunyi begitu. Namun kalimat itu lahir 2500 tahun silam, ketika tatanan sosial tidak serupa dengan yang kita kenal hari ini. Membaca Plato secara potong-potong lalu memasukkannya ke kerangka modern berisiko menyesatkan.
Jika kita menelusuri karya Plato yang lain, khususnya Laws, nada pembahasan berubah total. Di sana Plato mengulas perilaku seksual sesama jenis lewat sebuah bagian yang sering diabaikan.
“When the nature of male is in communion with that of the female for giving birth, the subsequent pleasure is thought to be according to nature, while that of man to man and woman to woman is against nature and those that commit to this (same sex copulation) they do so from incontinence to pleasures.”
BACA JUGA:Siapa Sangka Hutan Amazon Disuburkan oleh Debu Sahara
Terjemahan bebas
Ketika sifat laki-laki bersatu dengan sifat perempuan untuk melahirkan, kenikmatan yang muncul dianggap sesuai dengan alam. Namun hubungan laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan adalah melawan alam, dan mereka yang melakukannya dipandang tunduk pada ketidakmampuan menahan kesenangan.
Dari situ terlihat Plato justru tidak menyetujui hubungan seksual sesama jenis. Bahkan arah pandangannya mengarah ke penolakan. Pertanyaan besarnya, bagaimana mungkin ia memuji cinta sesama jenis tetapi menolak praktik seksualnya? Bukankah cinta biasanya bergerak ke arah hubungan fisik? Menurut Plato, tidak selalu.
Bagi Plato, cinta tidak otomatis berhubungan dengan tubuh. Ia berangkat dari gagasan besar bahwa segala yang kita lihat hanyalah bayangan dari sesuatu yang lebih tinggi dan sempurna, yang ia sebut sebagai ide. Ketika seseorang jatuh cinta, ia sebenarnya jatuh cinta pada sifat-sifat dan keindahan yang menjadi celah menuju ide itu, bukan pada tubuh orangnya. Manusia, menurut Plato, menyukai ide, bukan raga.
Dalam kerangka itu, siapa pun bisa mengagumi keindahan sesama jenis tanpa harus disebut homoseksual. Seorang laki-laki bisa jatuh cinta pada keindahan laki-laki lain; perempuan bisa jatuh cinta pada keindahan perempuan lain. Yang mereka cintai bukan orangnya, melainkan keindahan yang dipantulkan orang itu.
BACA JUGA:Pemilu 2029 di Era Deepfake, Demokrasi Kita Bisa Terseret Ilusi
Pemahaman ini ditegaskan lagi dalam Phaedrus, buku lain karya Plato yang membahas cinta. Di sana ia menyebut keindahan sebagai ide yang paling mudah dikenali sehingga dicintai siapa pun. Namun Plato menambahkan bahwa ada ide lain yang justru menyalakan cinta lebih kuat, seperti keadilan, kemurnian, dan kebijaksanaan.
Jika seseorang menolak ajakan hubungan fisik, apakah cinta kita runtuh? Tentu tidak. Kita mungkin kecewa jika dijauhi secara sosial, tetapi tidak wajar bila kita menginginkan hubungan tubuh hanya karena seseorang memiliki kebajikan. Cinta, kata Plato, tidak berdiri pada nafsu. Ia berdiri pada ikatan terhadap ide.
Dengan pandangan itu, pujian Plato terhadap cinta sesama jenis menemukan konteksnya. Yang ia maksud bukan cinta berbasis hasrat, melainkan cinta yang bebas dari keinginan untuk berhubungan badan. Cinta itu dianggap lebih murni karena tidak terikat tubuh yang tidak sempurna.
Plato, pada akhirnya, sedang membicarakan persahabatan. Hubungan yang lahir dari kecintaan dua orang terhadap ide yang luhur. Tidak semua persahabatan dibangun demikian, tetapi yang berhasil, menurut Plato, adalah bentuk cinta terbaik yang bisa dicapai manusia. Dalam hubungan semacam inilah cinta sesama jenis menjadi mulia, bukan karena tubuhnya, melainkan karena jiwanya bergerak menuju sesuatu yang lebih tinggi.