Air Bah di Sumatera Belum Hilang, Jejak Krisis Lingkungan Makin Terang

Kamis 04-12-2025,14:03 WIB
Reporter : Andika Prasetya
Editor : Andika Prasetya

JAKARTA, PostingNews.id — Genangan air dan endapan lumpur masih menguasai pemukiman serta lahan pertanian warga di berbagai kabupaten dan kota di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Sejak banjir bandang dan longsor melanda pada 23 November 2025, banyak area berubah menjadi kubangan yang seolah menolak kering. Kondisi di lapangan kini dibaca kelompok masyarakat sipil sebagai peringatan keras bahwa krisis agraria dan ekologis di Sumatera sudah melampaui batas wajar.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat hingga 3 Desember 2025 bencana ini telah melumpuhkan sedikitnya 50 kabupaten dan kota di tiga provinsi tersebut. Dampaknya menjalar ke 3,2 juta jiwa. Sebanyak 770 orang dinyatakan meninggal, 463 warga masih hilang, 2.600 terluka, dan 746,2 ribu orang terpaksa meninggalkan rumah mereka.

Konsorsium Pembaruan Agraria menerima laporan dari jaringan anggota mereka di lokasi bencana. Hasilnya menunjukkan situasi yang jauh dari tertangani. Mereka menilai respons pemerintah pusat dan daerah berjalan lambat sementara korban harus menghadapi hari-hari tanpa kepastian bantuan.

Akses yang terputus membuat logistik sulit mencapai desa-desa yang terisolir. Alat berat minim. Ribuan warga terjebak tanpa makanan dan air bersih selama berhari-hari. Pemerintah juga gagal menjaga pasar di tengah krisis sehingga harga kebutuhan pokok melonjak di banyak daerah terdampak.

BACA JUGA:Bahlil Baru Sebatas Ancam Cabut IUP Tambang Nakal yang Disorot dalam Banjir Sumatera

“Ketiga, warga mulai terancam wabah penyakit seperti penyakit kulit, diare, dan ISPA akibat minimnya posko kesehatan dan persediaan obat-obatan. Anak-anak dan lansia tidur di pengungsian yang tidak layak tanpa selimut dan sanitasi” kata Benny Wijaya, Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan KPA dalam keterangan tertulis Rabu 3 Desember 2025.

Benny menilai bencana yang menghajar tiga provinsi ini bukan sekadar akibat hujan ekstrem. Ia menyebutnya sinyal darurat dari krisis agraria dan ekologis yang makin parah. Ia menuding penyelenggara negara sebagai pihak yang paling bertanggung jawab karena gemar membagi-bagi izin dan konsesi untuk perkebunan, tambang, dan kehutanan, sementara pembenahan krisis agraria tak pernah tuntas.

Kawasan hulu yang seharusnya menjadi spons penyerap air kini dikuasai segelintir korporasi. Hutan alam dan wilayah adat masyarakat yang biasanya menjadi penyangga justru dibuka besar-besaran lalu diganti tanaman monokultur berakar dangkal. Saat hujan turun, air tak lagi terserap melainkan berlari cepat ke hilir menghantam permukiman.

Catatan Akhir Tahun 2024 KPA menunjukkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir terjadi 3.234 letusan konflik agraria seluas 7,4 juta hektare dan mempengaruhi 1,8 juta keluarga. Setengah dari konflik itu disebabkan operasi perusahaan perkebunan, konsesi tambang, dan hutan tanaman industri.

BACA JUGA:Anjing K9 Reno Gugur Saat Cari Korban Longsor di Agam Sumbar, Polda Riau Berduka

“Sementara, dua dari tiga provinsi yang mengalami banjir saat ini merupakan provinsi dengan letusan konflik agraria tertinggi di Indonesia pada 2024, yakni Sumatra Utara dan Sumatra Barat” ujar Benny.

Di Sumatera Utara saja pada 2024 terjadi 32 letusan konflik agraria. Mayoritasnya dipicu operasi perkebunan sawit, pembebasan lahan untuk infrastruktur, serta operasi perkebunan kehutanan dan tambang. Di Sumatera Barat, sepanjang tahun itu terdapat 12 letusan konflik dengan dominasi kasus akibat perluasan perkebunan.

Kelompok Studi Prakarsa dan Pemberdayaan Masyarakat juga menelusuri perubahan tutupan hutan di Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah sejak 1990 hingga 2024. Di Tapanuli Selatan hasilnya mengkhawatirkan. Dalam tiga dekade wilayah ini kehilangan 46.640 hektare hutan alam. Periode terburuk terjadi pada 1990–2000 sebesar 26.223 hektare lalu berlanjut pada 2000–2010 dengan kehilangan 10.672 hektare.

“Data perubahan tutupan lahan ini berjalan searah dengan perluasan penggunaan lahan lain. Sejak 1990–2024 terjadi penambahan kebun sawit seluas 42.034 hektare, perluasan kebun kayu eukaliptus sebesar 1.107 hektare, serta identifikasi 298 lubang tambang” kata Rocky Pasaribu, Direktur Eksekutif KSPPM.

BACA JUGA:Makna Status Prioritas Nasional untuk Banjir Sumatera yang Gagal Jadi Bencana Nasional

Kategori :