JAKARTA, PostingNews.id — Komisi Pemberantasan Korupsi mendadak dibuat garuk-garuk kepala setelah Presiden Prabowo Subianto memberikan rehabilitasi kepada tiga mantan terdakwa kasus korupsi PT ASDP Indonesia Ferry. KPK mengaku tidak tahu menahu apa alasan di balik keputusan politik yang tiba-tiba turun dari Istana itu.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, mengungkapkan bahwa pihaknya sama sekali tidak mendapat penjelasan resmi soal latar belakang rehabilitasi tersebut, terlebih setelah Wamenko Kumham Imigrasi Otto Hasibuan menyatakan bahwa langkah Presiden itu bukan bentuk intervensi hukum.
“Terkait masalah alasan, alasannya kami tidak tahu. Kami tidak paham dan itu bukan domain kami untuk menjawabnya,” ujar Asep di Gedung Merah Putih KPK, Selasa, 2 Desember 2025.
Asep menegaskan, dari sisi KPK, perkara ini sudah beres secara prosedural. Para tersangka sudah menguji langkah penyidik lewat praperadilan—bahkan lebih dari satu kali—tetapi semuanya kandas.
BACA JUGA:Tak Cuma Kasih Izin, Pramono Anung Pastikan Ikut Nongol di Reuni 212 Malam Ini
“Para tersangka sudah mengajukan gugatan praperadilan lebih dari satu kali, dan gugatannya ditolak. Jadi, secara formil sudah diuji,” kata Asep.
Di persidangan pun, menurut dia, majelis hakim tingkat pertama menyatakan para terdakwa terbukti melakukan perbuatan melawan hukum. Sidang berjalan terbuka, lancar, dan tanpa drama.
“Pada tanggal 20 November 2025 sudah diputus vonis,” tegasnya.
Masalahnya, vonis itu belum sempat mengendap lama ketika Presiden memutuskan memberikan rehabilitasi. Langkah tersebut otomatis membebaskan ketiga mantan direksi ASDP dari rumah tahanan KPK pada 28 November 2025, membuat publik bertanya-tanya apa dasar pertimbangannya.
BACA JUGA:Banjir Sumatra Baru Pembuka, Siklon Tropis Diprediksi Kian Beringas
Ketiganya adalah Ira Puspadewi, Harry Muhammad Adhi Caksono, dan Muhammad Yusuf Hadi. Sebelumnya, Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat sudah menjatuhkan hukuman 4,5 tahun untuk Ira, sementara Harry dan Yusuf masing-masing 4 tahun penjara. Namun ada satu catatan penting dari persidangan: Ketua Majelis Hakim Sunoto ternyata punya pendapat berbeda.
“Para terdakwa seharusnya dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum atau ontslag,” ucap Sunoto kala itu.
Dengan adanya rehabilitasi dari Presiden, perbedaan pendapat di pengadilan kini berubah menjadi keputusan politik yang efeknya jauh lebih besar. Publik pun masih menunggu penjelasan resmi dari Istana, sementara KPK memilih tidak ikut berspekulasi.