JAKARTA, PostingNews.id — Di jagat aksi jalanan Jakarta, FPI kembali siap bikin panggung besar. Reuni Akbar 212 digelar lagi, kali ini bukan di jam-jam mata panda seperti tahun-tahun sebelumnya, tapi di Monas pada Selasa 2 Desember 2025, tepat setelah Magrib.
Ibarat konser tahunan, jam tayangnya digeser biar yang kerja kantoran tetap bisa ikut tanpa harus izin setengah mati.
“Reuni tahun sebelumnya, kita mulai dari Tahajud sampai Subuh. Saat ini kita mulainya dari Magrib berjamaah,” kata Muhammad Alatas di kawasan Jakarta Timur, Minggu 23 November 2025.
Alasannya sederhana, jatuh di hari kerja. Kalau tetap diselenggarakan dari tengah malam sampai Subuh, bisa-bisa peserta bukan hanya ngantuk, tapi juga kena semprot bos keesokan harinya.
BACA JUGA:Risalah Syuriyah Terungkap, Inilah Dokumen yang Mendesak Gus Yahya Turun
Alatas juga memastikan, reuni ini bukan acara eksklusif yang hanya terbuka untuk satu golongan. Dari dulu, kata dia, Reuni 212 justru sering kedatangan tamu lintas agama. Jadi kalau ada tetangga non-muslim penasaran ingin ikut nimbrung, dipersilakan saja.
“Dari awal peristiwa 2016 terjadi, itu kawan-kawan dari ragam agama hadir, artinya ini juga undangan, bukan hanya untuk umat Islam, tapi ini untuk siapa pun, karena temanya itu kan tentang Indonesia, temanya juga tentang Palestina,” jelas Muhammad Alatas.
Isu Palestina lagi-lagi menjadi benang merah. Menurut dia, tragedi di sana bukan hanya soal umat Islam.
“Palestina bukan hanya milik umat Islam, tapi di Palestina telah terjadi genosida yang begitu mengerikan dan yang sudah mengangkat sisi kemanusiaan,” ucap Muhammad.
BACA JUGA:Gonjang-ganjing PBNU Terulang, Dulu Gus Dur Pernah Kena Angin yang Sama
Karena itu, undangannya dibuat selebar-lebarnya. Tidak ada pemeriksaan ketat, apalagi urusan KTP.
“Artinya, justru ini menjadi undangan kepada siapapun, yang merasa cinta dengan Indonesia, cinta dengan Palestina, kami mengajak dan mengundang, dan ini pintu welcome, artinya gak mungkin ditanya KTP,” pungkasnya.
Kalau begini, reuni 212 tahun ini bukan cuma soal orasi dan spanduk, tapi juga soal siapa saja yang merasa terpanggil.