JAKARTA, PostingNews.id – Di Pekanbaru yang siang harinya panas, malamnya politik, PDIP kembali merapikan barisan. Mereka tidak sekadar menggelar Konferda dan Konfercab, tetapi mengumumkan strategi besar untuk menguatkan pijakan di Riau. Tiga pilarnya cukup ambisius, mulai dari merangkul akar budaya Melayu, menanamkan kembali teladan sejarah, sampai merumuskan mimpi masa depan yang katanya tidak boleh setengah-setengah.
Semua ini disampaikan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto di hadapan jajaran partai dan tokoh adat Melayu Riau, termasuk Ketua LAMR Datuk Seri Taufik Ikram Jamil, Sabtu kemarin. Hasto mengatakan kehadiran tokoh adat itu tidak lepas dari pesan Bung Karno tentang Indonesia yang berkepribadian dalam kebudayaan. "Kehadiran Ketua LAMR karena Bung Karno mengingatkan, Indonesia yang berkepribadian dalam kebudayaan. Dalam jati diri kebudayaan itulah kita membangun karakter bangsa," ujar Hasto.
Hasto sempat memuji songket dan tarian Riau yang ditampilkan melalui drama musikal sebelum acara. Ia bahkan membacakan pantun penghormatan, sekaligus menegaskan bahwa budaya Melayu punya peran sentral dalam menyatukan Indonesia sejak Sumpah Pemuda 1928. Ia mengingatkan para kader agar bangga terhadap bahasa nasional.
"Meskipun pengguna Bahasa Jawa, Sunda, Batak jauh lebih besar, para pemuda visioner itu mencari suatu tradisi kebudayaan yang menjadi jembatan. Mengapa Bahasa Indonesia yang akarnya Melayu? Maka, banggalah bahasa ini sungguh-sungguh telah menyatukan kita," serunya.
BACA JUGA:Putusan MK Soal Polri Bikin Efek Domino, Warganet Sekalian Tagih TNI dan Lembaga Lain tak Boleh Rangkap Jabatan
Masuk ke pilar kedua, Hasto mengeluhkan banyak anak bangsa yang lupa sejarah. Ia bilang pendidikan politik yang ahistoris membuat generasi sekarang susah memahami pengorbanan pendahulu mereka. Hasto lalu mengangkat kisah Sultan Syarif Kasim II dari Kesultanan Siak.
"Beliau mempersembahkan kedaulatannya, mahkotanya, pedangnya, dan dana sebesar 13 juta Gulden dipersembahkan bagi Republik yang baru berdiri. Beliau tidak bertanya mau jadi apa, dan akhirnya beliau lebih memilih menjadi rakyat biasa," ujar Hasto.
Hasto juga mengingatkan bagaimana Bung Karno mendirikan PNI di usia 26 tahun, menantang kolonialisme hanya bermodal keberanian. "Seorang anak muda memekikkan dengan lantang 'Saya mendirikan PNI untuk memerdekakan Indonesia Raya'," ucap Hasto. Untuk mempertebal nyali kader, ia membacakan surat dari kader PNI Ciamis yang siap digantung Belanda tetapi tetap setia pada perjuangan. "Bayangkan, sebelum digantung, mereka berkirim surat kepada Bung Karno yang isinya menyatakan pergi ke tiang gantungan dengan hati gembira karena yakin Bung Karno akan melanjutkan peperangan," tuturnya.
Setelah cerita-cerita heroik itu, Hasto melempar pertanyaan yang membuat ruangan hening sesaat. "Apakah kita punya keberanian seperti ini? Pemilu baru menghadapi intimidasi, sudah banyak yang takut dan melintir." Ia kemudian mengutip pesan moral Megawati Soekarnoputri. "Menjadi banteng-banteng PDI Perjuangan tidak ditentukan oleh jabatannya apa, tetapi ditentukan oleh apa yang bisa kita berikan kepada rakyat Indonesia," tegasnya.
BACA JUGA:Menikah Demi Kekuasaan, Tradisi Lama yang Sudah Lahir dari Romawi
Hasto menutup pidatonya dengan mengingatkan bahwa partai harus fokus pada pembangunan peradaban politik, bukan mengejar kekuasaan yang sifatnya transaksional. "Maka pertanyaannya, apakah kita sedang membangun kekuasaan atau kita membangun peradaban?" tutup Hasto.