Mal-mal di Indonesia Makin Sepi, Katanya Kurang Bisa Bikin Orang Betah

Sabtu 22-11-2025,14:13 WIB
Reporter : Andika Prasetya
Editor : Andika Prasetya

JAKARTA, PostingNews.id — Kalau mal-mal di Indonesia bisa curhat, mungkin mereka bakal bilang hidup lagi berat. Sebab makin ke sini, makin banyak pusat perbelanjaan yang kosong melompong, sampai-sampai tinggal segelintir toko yang bertahan seperti kapal karam yang sudah miring. Ada yang nasibnya sudah tamat, seperti Grand Mall Bekasi yang tutup permanen, atau Borobudur Plaza yang hanya bangun dari tidur panjangnya saat Lebaran tiba.

Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APBI), Alphonzus Widjaja, menjelaskan bahwa kondisi ini bukan sekadar soal kurangnya pengunjung. Ada dua sumber masalah yang membuat sejumlah mal pelan-pelan ditinggalkan masyarakat.

“Pertama, permasalahan fundamental. Kedua, permasalahan yang dipengaruhi makroekonomi, mikroekonomi, dan lain sebagainya,” ujar Alphonzus dalam jumpa pers Indonesia Great Sale 2025 di Kantor Kementerian Pariwisata, Jakarta Pusat, Jumat, 21 November 2025.

Mengapa Mal Makin Sepi?

Menurut Alphonzus, problem besar pertama adalah perubahan gaya hidup. Mal bukan lagi dianggap tempat belanja, tapi tempat mencari pengalaman. Cara orang berkumpul, bersosialisasi, dan menghabiskan waktu berubah total, apalagi setelah pandemi Covid-19 yang mengurung masyarakat di rumah selama dua tahun.

BACA JUGA:Kursi Gus Yahya Digoyang, PWNU DKI Pasang Sikap Tutup Mulut

“Sekarang fungsinya sudah bukan lagi sebagai tempat belanja, tapi juga sudah harus bisa memberikan pengalaman ke konsumen,” kata Alphonzus.

PPKM membuat orang lebih terbiasa berbelanja online, sehingga setelah aturan itu dicabut, yang dirindukan bukan rak pakaian atau diskon, tapi tatap muka secara nyata dengan manusia lain. Bukan lewat gawai, bukan lewat video call.

“Yang pertama kali dicari masyarakat interaksi secara langsung dengan sesama, bukan di dunia maya,” jelas dia.

Masalahnya, tidak semua ruang publik di Indonesia ramah untuk aktivitas seperti itu. Jadilah mal tetap jadi pilihan yang paling masuk akal untuk nongkrong atau ngumpul. “Kan tidak mungkin bersosialisasi ke rumah sakit, stasiun, atau terminal. Pasti kan salah satunya adalah ke pusat perbelanjaan,” kata Alphonzus.

BACA JUGA:Jokowi Pidato Pakai Bahasa Inggris di Bloomberg New Economy Forum 2025

Karena itu, pusat belanja yang gagal menyesuaikan diri dengan tren baru ini perlahan ditinggalkan. Kurangnya area duduk, minimnya ruang terbuka, dan lokasi makan yang tidak nyaman membuat pengunjung kabur ke mal lain yang lebih bersahabat.

“Mal-mal yang semakin sepi itu tidak bisa memberikan, merespons, gaya hidup yang berubah. Tidak bisa memberikan fasilitas-fasilitas itu,” tutur Alphonzus.

Faktor Eksternal yang Ikut Menyulitkan Mal

Di luar persoalan gaya hidup, kondisi ekonomi masyarakat belum sepenuhnya pulih. Daya beli yang tergerus dan gelombang PHK membuat belanja bukan prioritas. Alphonzus menilai, ini PR pemerintah untuk mengembalikan energi konsumsi masyarakat.

Kategori :