JAKARTA, PostingNews.id — Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh, terlihat tenang meski dua kadernya, Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach, baru saja diguncang sanksi dari Mahkamah Kehormatan Dewan. Dalam gaya khasnya yang selalu lembut namun sarat makna, ia menjawab dengan kalimat pendek yang penuh jeda.
“Sampai saat ini belum,” ujarnya, ketika ditanya apakah partainya berencana melakukan pergantian antarwaktu bagi dua anggota DPR nonaktif itu, Ahad, 9 November 2025. Jawaban yang singkat, tapi di politik, kata “belum” sering berarti lebih dari sekadar penundaan.
Di NasDem Tower yang megah di kawasan Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat, Paloh berbicara dengan nada yang lebih menyerupai seorang guru bangsa daripada pimpinan partai yang sedang dirundung masalah etik kadernya. Ia tidak banyak membela, juga tidak menuding.
“Itu mekanisme DPR yang harus kami hormati,” katanya pelan, seolah menegaskan bahwa urusan kehormatan bukan sesuatu yang bisa diatur dari menara kekuasaan partai.
BACA JUGA:DPR Ngaku Potong Dana Reses, Tapi Tak Ada Bukti Dokumennya
NasDem sendiri sebenarnya sudah lebih dulu mengambil langkah pencegahan sebelum MKD memutuskan sanksi resmi. Baik Sahroni maupun Nafa Urbach telah lebih dulu dinonaktifkan oleh partai. Sebuah langkah yang tampak seperti upaya menjaga citra bersih partai di tengah publik yang mulai lelah melihat drama moral para wakil rakyat.
“MKD melaksanakan prosesnya sebagaimana mekanisme yang ada di dewan, saya pikir itu juga kita hormati,” ucap Paloh lagi, menegaskan sikap legowo khas dirinya.
Namun di Senayan, drama etik itu sudah sampai pada babak hukuman. Mahkamah Kehormatan Dewan memutuskan bahwa tiga anggota dewan nonaktif—dua dari NasDem dan satu dari PAN—bersalah melanggar kode etik. Nama-nama yang dulu gemerlap di panggung politik dan hiburan kini berbaris di daftar sanksi: Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, dan Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio.
Putusan MKD tak main-main. Ketiganya diberhentikan sementara dari jabatannya di DPR dan kehilangan hak keuangan selama masa nonaktif. Nafa Urbach dijatuhi sanksi tiga bulan, Eko Patrio empat bulan, sementara Sahroni, yang dikenal flamboyan sekaligus kontroversial, harus absen selama enam bulan penuh dari kursi kekuasaan. Hukuman ini resmi berlaku sejak 5 November 2025, hari ketika palu etika diketukkan di ruang sidang MKD.
BACA JUGA:INDEF: Tren Thrifting Tumbuh karena Gengsi Barang Branded
Dua nama lain yang sempat terseret dalam pusaran pemeriksaan—Adies Kadir dari Golkar dan Uya Kuya dari PAN—keluar dari ruang sidang tanpa noda etik. MKD memutuskan keduanya tidak bersalah, seolah menegaskan bahwa di antara kabut gosip dan tudingan, masih ada ruang untuk yang “selamat secara prosedural.”
Sidang MKD yang digelar pada 3 hingga 5 November itu menjadi tontonan politik yang penuh ironi. Para anggota dewan yang biasanya memeriksa kebijakan publik kini justru diperiksa soal kelakuan pribadi. Rakyat yang menyaksikan dari layar kaca mungkin hanya bisa mengangkat alis, bertanya-tanya apa arti kata “kehormatan” di lembaga yang bahkan butuh mahkamah khusus untuk menjaganya.
Sementara itu, Surya Paloh tetap tenang di menaranya. Ia tak mengangkat suara, tak pula mencari kambing hitam. Ia tahu badai ini bukan yang pertama, dan mungkin bukan yang terakhir. Di wajahnya, ada ketenangan seorang politisi senior yang sudah kenyang menyaksikan betapa cepat moral bisa berubah jadi komoditas. Bagi Paloh, menghormati mekanisme tampaknya lebih penting daripada berdebat soal benar atau salah.
Publik mungkin menanti langkah lanjut NasDem. Tapi jika melihat gestur Paloh, tampaknya partai ini memilih menunggu waktu bekerja, seperti biasa, penuh perhitungan dan ritme yang hanya ia sendiri yang tahu.