Total Rp9,3 triliun digelontorkan. Rp3,6 triliun dari APBN, sisanya dari Dana Alokasi Khusus. Targetnya: 1,2 juta unit Chromebook untuk guru dan siswa di seluruh Indonesia. Tapi, kenyataan di lapangan berkata lain.
BACA JUGA:Buron! Eks Stafsus Nadiem Makarim Kabur ke Luar Negeri, Kejagung Siapkan Red Notice
“Chrome OS tersebut dalam penggunaan untuk guru dan siswa tidak mencapai optimal karena sulit digunakan,” kata penyidik Kejaksaan Agung Abdul Qohar. Artinya, laptop banyak nganggur, siswa bingung, guru menyerah, dan negara buntung.
Kerugian negara dihitung lewat metode illegal gain, yaitu selisih harga kontrak dan harga riil di pasar. Angkanya: Rp1,9 triliun.
Pada 16 Juli 2025, Kejagung menetapkan empat tersangka:
- Jurist Tan, Staf Khusus Menteri
- Ibrahim Arief, Konsultan Teknologi
- Sri Wahyuningsih, Direktur SD
- Mulyatsyah, Direktur SMP
Sri dan Mulyatsyah langsung ditahan. Ibrahim ditahan kota karena penyakit jantung kronis. Sementara Jurist Tan? Ia sudah lebih dulu meninggalkan Indonesia dan hingga kini masih di luar negeri. Jejaknya tak terendus, tapi grup WA-nya mungkin masih aktif.
Merdeka Belajar, Tapi Tak Merdeka dari Audit
Dari sebuah grup WhatsApp elite, satu visi digitalisasi disusun, tapi tak pernah dibayangkan bahwa alih-alih mencetak siswa unggul, proyek ini malah mencetak tersangka elit. Sistem Chrome OS yang katanya untuk masa depan pendidikan, kini menjadi arsitektur kebocoran anggaran.
Merdeka Belajar? Mungkin saatnya diganti jadi “Merdeka Bertanggung Jawab”. Karena pada akhirnya, semua rapat Zoom, dokumen teknis, dan instruksi daring tak akan bisa menutup kenyataan bahwa Rp1,9 triliun uang rakyat telah dikonversi menjadi jejak digital menuju jeruji.