JAKARTA, POSTINGNEWS.ID - Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan gugatan untuk memperpanjang masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi lima tahun.
Namun, mantan Komisioner KPK Abraham Samad mengkhawatirkan bahwa perubahan ini berpotensi menghilangkan independensi KPK sebagai lembaga antirasuah.
Menurut Abraham Samad, meskipun KPK sekarang menjadi bagian dari cabang eksekutif setelah revisi Undang-Undang KPK, masih penting untuk mempertahankan pemisahan masa jabatan antara KPK dengan lembaga eksekutif lainnya.
Ia berpendapat bahwa hal ini didasarkan pada dasar filosofi dan sosiologis pendirian KPK.
“Oleh karena itu, kalau Mahkamah Konstitusi memutuskan format pimpinan KPK lima tahun, berarti tidak ada lagi ciri khas sebagai lembaga independen,” kata Samad, Jum’at (26/5).
Samad juga menekankan pentingnya membedakan masa jabatan pimpinan untuk menunjukkan bahwa KPK merupakan lembaga eksekutif yang independen dan memiliki ciri khas sebagai lembaga penegak hukum.
“Karena ia (KPK) menjadi role model bagi lembaga negara lainnya,” ujar Ketua KPK periode 2011-2015 itu.
Saut Situmorang, mantan Komisioner KPK lainnya, juga mempertanyakan argumen hukum yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam mengabulkan gugatan tersebut.
Ia menganggap alasan yang digunakan sebagai paradoks.
“Ini logikanya paradoks. Dibuat empat tahun itu biar ada check and balance pimpinan sebelumnya,” kata bekas Wakil Ketua KPK itu.
Menurutnya, skema empat tahun untuk masa jabatan pimpinan KPK seharusnya ada untuk memastikan adanya keseimbangan kekuasaan dengan pimpinan sebelumnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron telah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terkait Undang-Undang KPK.
Ghufron meminta agar batas usia minimal untuk calon pimpinan dihilangkan dan masa jabatan kepemimpinan di KPK disamakan.
Mahkamah Konstitusi akhirnya mengabulkan permohonan gugatan yang diajukan oleh Ghufron.
Alasannya, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa perpanjangan masa jabatan tersebut diperlukan untuk menjaga independensi KPK.
Pakar hukum tata negara, Denny Indrayana, mengkritik Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 112/PUU-XX/2022, yang menurutnya memiliki nuansa politis terkait suksesi pemenangan Pemilihan Presiden 2024.
Denny mengkritik dua hal dalam putusan MK tersebut, yaitu perpanjangan masa jabatan dan batas usia pimpinan KPK.
Menurut Denny, putusan tersebut bersifat retroaktif dan langsung berlaku sejak pembacaan putusan.
Dengan demikian, masa jabatan pimpinan KPK, termasuk Firli Bahuri, diperpanjang hingga Desember 2024.
Denny menduga perpanjangan masa jabatan Firli hanya bertujuan untuk mengamankan sejumlah kasus di KPK hingga Pemilihan Presiden 2024 selesai.
Kasus-kasus tersebut diharapkan tidak menargetkan koalisi pemerintah, namun sebaliknya dapat menargetkan lawan atau oposisi.
"Maka strategi menjadikan KPK sebagai bagian dari strategi merangkul kawan, dan memukul lawan itu berpotensi berantakan," kata Denny.
Denny juga mencatat substansi lain dalam putusan MK terkait batas usia minimal pimpinan KPK yaitu 50 tahun.
Namun, syarat ini dapat dikecualikan bagi petahana.
Misalnya, Nurul Ghufron, meskipun belum mencapai usia 50 tahun dalam periode kepemimpinan KPK yang akan datang, tetap dapat mencalonkan diri karena ia saat ini menjabat.
Menurut Denny, putusan tersebut hanya menunjukkan inkonsistensi putusan MK sebelumnya, bahwa masalah syarat usia diserahkan kepada pembuat undang-undang.
"Masalah batas umur minimal ini, persoalannya lebih sederhana, dan hanya menunjukkan inkonsistensi dari putusan-putusan MK sebelumnya," kata Denny.
Kategori :